"Mas ..." Kugoyangkan pelan pundak suamiku ini yang masih saja setia di alam mimpinya. Setelah selesai Sholat Subuh tadi, dia langsung menutup mata kembali, mengantuk, katanya.
Aku pun tidak mencegahnya, toh kami masuk kuliah siang. Dan sekarang sudah masuk di jam 10 siang. Makanya, aku mencoba untuk membangunkan dia. Kebiasaannya yang sulit sekali di rubah, selalu sulit di bangunkan, kecuali di jam-jam Sholat 5 waktu, entahlah kenapa bisa seperti itu.
"Mas ... bangun loh, ini udah siang. Jam 10, kamu belum sarapan juga."
Kugoyangkan lagi badannya, namun balasan dari mulutnya hanya berupa gumaman. Aku menghela nafasku dalam lalu bangkit berdiri.
"Baiklah kalau memang kamu belum mau bangun, aku bakal siapin dulu makanan dan baju buat kamu. Saat ke sini, kamu belum bangun juga. Siap-siap aja, Mas ...." Setelah mengucapkan hal itu, aku lantas pergi ke dapur.
Seperti kataku tadi, menyiapkannya makanan. Setelah selesai, aku kembali ke kamar, senyum tak bisa ku sembunyikan, pasti dia sudah berada di kamar mandi. Mungkin dia kapok padaku yang pernah menyiram kakinya dengan air es yang telah ku siapkan. Tapi memang benar, dia pasti selalu langsung bangun jika aku mulai mengancam untuk membangunkannya dengan cara tadi.
Sebenarnya aku tahu dan sadar, pertama kali aku membangunkannya, dia sudah kembali dari mimpinya, hanya saja, rasa malas dia terlalu tinggi.
Lupakan soal dia yang seperti itu, aku kini beralih ke sisi lain kamar, tepatnya ke arah lemari, mengambil baju yang akan dia kenakan hari ini. Tak lama kemudian, dia keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di tubuh bagian bawahnya. Dia berjalan ke arahku lalu mengambil baju yang ada di tanganku.
"Makasih," ucapnya sambil mengusap pelan kepalaku lalu kembali pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum setiap kali dia melakukan hal itu.
Yaampun, murah sekali senyumku. Hanya dengan perlakuan sederhananya saja, aku bisa menjadi seperti ini. Tak ingin terlarut dengan kebahagiaanku yang sederhana namun berdampak besar itu, aku kini berjalan menuju meja belajar milikku. Mengambil beberapa buku lalu memasukkannya ke dalam tas milikku tak lupa juga dengan tas miliknya. Buku telah selesai ku kemas, begitu pun dia yang telah keluar dari kamar mandi dengan baju yang telah kupilihkan tadi.
"Berangkat sekarang?" tanyanya, sambil terus berjalan menghampiriku.
Aku menyambutnya dengan senyuman. "Iya, Pak Maman tadi udah kasih pesan ke aku, kalau tadi dia hampir sampai."
Dia mengangguk kecil, "Yaudah, kamu hati-hati di jalan. Sampai ketemu nanti sore."
Aku kembali mengangguk, lalu meraih tangannya dan menyaliminya yang disusul dengan kecupan hangat lagi di pelipisku.
"Oh ya, makanan udah aku siapkan di sana. Agak banyak sih, kalau masih ada sisa, kamu bisa simpan lagi nanti biar aku hangatkan saat kita pulang nanti atau pun mau kamu jadikan bekal pun tak apa."
Dia mengangguk kecil dengan senyuman yang ku balas dengan senyuman terbaikku. Setelah itu, aku bergegas pergi. Getaran handphone di tanganku sudah berbunyi sejak tadi, itu pasti Pak Maman. Di luar, ternyata Pak Maman sudah ada di sana. Tanpa menunggu lagi, aku masuk ke dalam mobil lalu mobil pun melaju meninggalkan rumah kami, menuju rumahku. Sampai di rumah, Pak Maman lansgung memasukkan mobilnya ke garasi setelah itu pamit pergi.
Tugas Pak Maman hanya menjemputku dari rumah kami kemudian mengantarkanku ke rumahku sendiri. Setelah itu, Pak Maman langsung pulang kembali. Jam masih menunjukkan pukul setengah 11 siang saat aku sudah sampai di rumahku. Sebenarnya jarak dari rumah kita menuju rumahku tidak terlalu jauh, namun aku selalu minta pak Maman untuk berkeliling kompleks terlebih dahulu, sekalian membeli makanan ringan di taman kompleks.
Masih sekitar 2.5 jam lagi menuju jam masuk di kampusku. Aku sedang berbaring di kamarku. Ku ambil figura di samping nakasku lalu menatapnya dalam.
"Kek ... kenapa jadi seperti ini?" tanyaku pada foto yang ada di figura itu.
Itu kakekku, hanya dia yang paling mengerti diriku, tidak ada yang lainnya. Namun beberapa tahun yang lalu kakek harus pergi untuk selamanya. Sejak kecil, aku selalu main bersama kakek, kedua orang tuaku masih hidup. Hanya saja mereka sama-sama mengurusi bisnisnya. Teman terbaikku hanya kakek, masa kecil dan remajaku, kuhabiskan dengan kakek. Kakek benar-benar segalanya bagiku. Hingga saat kakek tidak ada, tentu saja aku merasa terpukul, aku merasa kehilangan sosok penopang hidup, keluarga dan teman secara yang bersamaan.
Tak lama setepah kakek meninggal, kabar yang mengejutkan harus kuterima. Aku harus menikah dengan orang yang tidak kukenal saat aku masuk kuliah. Kedua orang tuaku, yang menginginkan itu. Aku tidak bisa menolak saat itu, karena memang aku termasuk ke dalam anak yang penurut.