Ada hal yang membuatku bingung sekaligus senang kali ini, dia dan sikapnya. Sejak menjemputku di rumahku tadi, dia langsung menggenggam tanganku dengan erat, bahkan sampai di mobil seperti ini.
Biasanya, genggaman dia tidak pernah se-erat ini, dan selalu di lepas saat sudah masuk mobil. Tapi kali ini benar-benar berbeda, aku bahkan mengintrupsinya, jika saja dia agak kesulitan kalau harus mengemudi dengan satu tangan. Tetapi dia bilang tidak apa-apa. Aku hanya bisa menurutinya. Seperti yang aku bilang, aku merasa aneh sekaligus senang.
Aneh karena perubahan sikapnya secara tiba-tiba dan senang karena aku rasa sepertinya dia mulai ... mencintaiku. Oh__tidak-tidak. Aku tidak boleh terbawa suasana. Dulu, dia juga pernah bersikap seperti ini, tapi keesokan harinya dia sudah berubah kembali. Bersikap seolah benar-benar tidak pernah mengenalku. Kali ini pun sepertinya sama, jangan terlalu banyak berharap padanya. Besok pasti sikapnya akan berubah kembali.
Beberapa menit kemudian, mobil yang kami kendarai pun masuk ke dalam garasi rumah kami. Dia memintaku untuk menunggu sebentar di dalam mobil, aku hanya mengangguk. Bingung, tumben sekali dia menyuruhku menunggu di dalam mobil. Namun tiba-tiba pintu di tempatku duduk terbuka. Dia mengulurkan tangannya ke arahku.
"Ayo!"
Perlu beberapa detik untuk aku mengerti apa maksud dari uluran tangan itu. Senyum di wajahku tidak bisa kutahan. Aku menerima uluran tangannya dan beranjak ke luar. Tangannya masih saja terus menggenggam tanganku erat. Aku mengehentikan langkahku. Mengingat belanjaan yang masih ada di mobil.
"Mas, belanjaannya masih di mobil."
Dia berbalik ke araku dengan senyum manisnya yang tipis.
"Biar Mas aja nanti yang ambil." Dia kembali menarikku masuk ke dalam rumah.
Aku masih bingung dengan sikapnya. Mas? Sejak kapan dia memanggil dirinya sendiri dengan sebutan 'Mas' biasanya juga selalu memanggil dirinya dengan sebutan 'Aku'. Lamunanku terhenti saat kurasakan dia menarikku untuk ikut duduk dengannya di sofa.
"Mas beresin belanjaan dulu," ucapnya lalu bangkit. Namun aku menahannya.
"Sama aku aja, Mas."
Dia berbalik mendengar suaraku. "Gak usah, biar Mas aja. Kamu tunggu di sini."
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk menurutinya. Perubahannya terlalu banyak dan sangat maksimal. Apakah aku harus percaya kalau dia benar-benar mulai ... mencintaiku. Atau lagi-lagi ini hanya ilusiku?
Aku menggeleng pelan. 'Ini hanya sementara, besok dia akan berubah.' Mantera itu terus kurapalkan dalam pikiranku. Aku tidak boleh terjebak dengan perlakuan manisnya.
Aku memang sering terjatuh dan sudah biasa juga dengan rasa sakitnya. Tapi aku tak tahu, batasanku dalam menanggapi jatuh itu sampai kapan. Jujur, dalam mencintainya ... aku masih saja selalu ingin jatuh berkali-kali. Namun terakhir kali aku jatuh, pikiranku mendoktrin diriku untuk berhenti dan hatiku tidak ingin itu terjadi.
Aku hanya diam di sini, melihatnya dari jauh yang sedang membereskan belanjaan kami ke dalam kulkas dan tempat lainnya. Walaupun hanya bayangannya saja yang terlihat di sini, namun hal itu selalu berhasil membuat hatiku bergetar lebih cepat. Sekuat itu efeknya padaku. Aku hanya terus mandangnya, setelah cukup lama akhirnya dia kembali. Aku menyambutnya dengan senyuman terbaikku. Dia kembali duduk di sebelahku.
"Mas ada bocoran. 3 hari ke depan perkuliahan bakal libur karena kampus lagi persiapan akreditasi." Aku terkejut mendengar hal itu. Dia mengangguk dengan senyumnya.
"Iya ... belum ada yang tahu tentang ini. Infonya baru akan di sebar jam 8 malam nanti."
"Tapi ini gak hoax 'kan, Mas?"
Dia mengangkat jarinya membentuk huruf 'V'. "Beneran, gak percaya? Tunggu aja nanti jam 8 malam."
Aku terdiam, apa iya?
"Mas punya satu kabar lagi."
"Apa?"
Dia berbalik, mengambil tas miliknya yang tadi berada di belakangnya. Mencari sesuatu di dalam sana hingga akhirnya tangannya telah keluar dengan sebuah amplop. Dia menyerahkan amplop itu padaku.
"Ayo, buka!"
Aku menurutinya, membuka amplop itu. Melihat isinya, aku kembali di buat terheran. Ku angkat kertas itu dan menunjukkannya pada dia. Dia kembali mengangguk.
"Tiket pesawat?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Kita liburan! Ke Finlandia."
"Tapi kata Mas 'kan liburnya cuma 3 hari. Habis di jalan dong, Mas ...."
"Eh__" Dia kembali mencubit hidungku.
"Kamu lihat baik-baik tanggalnya. Masih satu bulan lagi. Pas kita selesai semesteran. Mas juga tahu, Run."
Aku kembali mengecek tiket pesawat itu. Dan ternyata benar, masih sekitar 1 bulan lagi. Bodohnya aku karena tidak mengeceknya terlebih dahulu.
"Nah, kan?"
Aku hanya tersenyum lebar pada dia. "Ya maaf, Mas. Aku kaget aja, takut nanti kita gak jadi pergi. Kan sayang juga uangnya."