Kini aku sedang bersama dengan Desi. Menunggu pelajaran berikutnya yang akan mulai setengah jam lagi. Kami berdua duduk bersama di lantai perpustakaan diatara rak buku yang berada di barisan belakang. Aku sibuk dengan laptop di pangkuanku, bukan mencari informasi atau pun mengerjakan tugas, melainkan bermain game Farm Frenzy 3.
Desi sedang sibuk membaca contoh skripsi di perpustakaan. Dia orangnya memang seperti itu, sangat berbeda jauh denganku yang pemalas ini. Bagiku sendiri, toh pada waktunya nanti aku akan berlajar dengan sendirinya. Bagiku, jika aku sedang ingin belajar maka aku akan belajar, jika tidak ingin maka aku tidak akan belajar. Simpel, seperti itu.
"Run, aku tinggal cari yang lain dulu, ya?"
Aku hanya mengangguk, masih fokus pada game yang sedang kumainkan. Ekor mataku menangkap orang yang duduk di dekatku.
"Loh, cepat banget, Des? Biasanya juga lama?" tanya tanpa melihat orang itu. Sudah pasti itu Desi, karena tidak pernah ada orang yang pergi ke belakang dan sudut seperti ini kecuali aku dan Desi. Isi rak di sini rata-rata ensiklopedia dan buku dengan kertas buram yang tidak mengenakan untuk dibaca. Bahkan hampir semua buku di sini berdebu.
"Hei."
Aku terpaku mendengar suara itu. Bukan, jelas itu bukan suara Desi. Kalaupun iya, kapan suara Desi berubah menjadi berat seperti tadi? Seperti suara laki-laki.
Aku menghentikan sebentar permainanku lalu mengangkat kepalaku. Itu bukanlah Desi. Aku mengangguk kecil menyapanya.
"Desi ditahan teman-temanku."
Aku kembali mengangguk. Tak tahu harus berbicara apa.
"Run," panggilnya.
Aku berdeham kecil. "Soal yang di cafe itu ...."
Aku menggeleng dengan cepat.
"Jangan dipikirkan lagi lah, Ri." Ya! Orang itu adalah Ari. "Aku percaya pada suamiku. Mungkin dia memang menggantikanku membalas pesan-pesanmu. Apa pun alasan dia, aku tidak apa-apa. Jangan diungkit lagi."
Ari memang memintaku untuk mencari tahu tentang hal itu. Awalnya aku memang ingin, tapi setelah aku pikir-pikir lagi, tidak! Aku tidak ingin kecewa atau pun berharap. Lebih baik aku menganggap itu semua tidak ada.
"Aku tidak membaca pesanmu demgannya seperti apa. Tapi cukup, Ri. Aku mohon... berhenti."
"Bukan seperti itu maksudku," ucapnya.
"Lalu apa?"
Bukannya menjawab Ari malah meraih laptopku dan seperti mengetikan sesuatu. Lalu mberikan kembali laptop itu padaku. Ari menunjuk ke arah laptop dengan matanya. Aku mengikuti arah tunjuknya dan melihat layar laptop milikku.
Aku tahu siapa dia. Dia yang kamu sembunyikan, suamimu.
Aku langsung mengangkat kepalaku. Ari mengangguk yakin.
"Dia salah satu temanku, 'kan?"
Aku tersentak mendengar hal itu. Bagaimana bisa Ari mengetahuinya.
"Melihat ekspresimu, ucapanku sepertinya benar."
"Sepertinya? Berarti kamu hanya menebak?"
Ari menggelengkan kepalanya. "Tidak juga. Sudah sejak lama aku mengetahui hal ini, bisa dibilang ... saat akad?"
"Apa maksudmu?" tanyaku langsung. Itu sangat tidak mungkin.
"Cahaya photography."