Aku langsung mengemas buku milikku saat dosen telah menutup perkuliahan kali ini.
"Des, pulang duluan saja, ya... aku ada urusan yang harus diselesaikan lebih dahulu. Aku gak akan pulang kemalaman kok. Lagipula, gak di luar juga, masih disekitaran kampus."
"Aku temani ya, Run?"
Aku tersenyum tipis lalu menggeleng.
"Tidak usah, kamu akan pulang malam kalau temani aku dulu. Lagi pula bukan hal aneh-aneh kok. Dan... mungkin aku akan meminta dia untuk menjemputku."
"Aaaa, siapa sih Run suamimu itu? Cerita dong. Masa sama sahabat sendiri gitu?"
"Ada waktunya, Des. Ada waktunya. Tapi kalau memang kamu tahu, aku akan beritahukan satu clue, mungkin akan membuat kamu terkejut."
"Apa?" tanya Desi antusias.
"Janji gak akan berekspresi berlebihan apalagi sampai teriak?"
"Janji. Kalau perlu aku tutup mulutku sama tangan deh."
Aku mendekat ke arah Desi dan mulai membisikannya. Desi sepertinya harus mulai tahu, meskipun dengan perlahan. "Kita satu angkatan dan satu kampus."
Dapat kudengar, suara teriakan Desi yang teredam karena tangannya yang berada di mulut. Aku menjauhkan kepalaku, mata Desi benar-benar melotot dengan lebar sekali.
"Sudah janji jangan bersikap berlebihan."
Desi mengangguk dengan mata melotot dan tangan yang masih berada di mulutnya. Aku menurunkan tangannya ke bawah.
"Sudah, jangan berlebihan. Satu hal lagi, jangan cari tahu mengenai hal ini, kalau kamu berusaha cari tahu... seperti yang pernah aku bilang sebelumnya, selamat tinggal."
Wajah Desi cemberut mendengar penuturanku. Dulu kami atau lebih tepatnya aku yang membuat Desi berjanji agar tidak mencari tahu mengenai siapa suamiku yang sebenarnya. Jika Desi masih nekat mencari tahu, maka persahabatan kita akan pupus begitu saja.
Sejak saat itu, Desi benar-benar diam dan tidak pernah mencari tahu hal apa pun lagi mengenai kehidupanku. Dia tahu, kalau aku tidak pernah main-main rengan apa yang aku ucapkan.
"Aku pasti akan kasih tahu kamu, kok. Kamu akan jadi orang pertama yang aku kasih tahu jika waktunya nanti sudah tiba. Bukan cuma itu, aku juga akan jelasin segalanya, mengapa semua ini bisa terjadi. Aku percaya sama kamu, Des... dan aku mau kamu juga percaya sama aku. Jujur, menyembunyikan ini semua bukanlah keinginanku. Kalau memang ini semua keinginanku, lebih baik aku merahasiakan pernikahanku saja sekalian."
"Jangan jadi mellow gini dong, Run. Kamu kan tahu aku paling gampang baper."
Aku terkekeh kecil. "Gak ada mellow-mellow an."
"Yasudah, kalau gitu. Hati-hati ya, titip salam juga sama suamimu itu. Bilang, Desi ingin tahu dia siapa, gitu."
Desi pun pergi dari kelas mengikuti mahasiswa yang lain. Aku melihat ke arah depan, dia dan teman-temannya masih ada di sana. Melihat Ari yang menatapku dan memberikan isyarat membuatku mengangguk dengan senyum tipis.
Aku mengeluarkan handphone milikku dan mengetikkan pesan padanya kalau aku akan pulang telat karena ada hal yang harus aku urus.
Me: Mas, hari ini aku pulang telat, ya... ada hal yang harus aku urus.
Hebatnya, langsing ada balasan darinya. Aku mendongkakkan kepalaku, dia sedang menatapku.
RLH01: Urusan apa?
Me: Bukan urusan besar, lagipula gak di luar kok. Masih di lingkungan kampus
RLH01: Aku tunggu di parkiran
Me: Gak takut ketahuan, Mas?