Hari ini jadwalku ada di pagi hari, jadwal untuk mengganti sih sebenarnya. Aku sengaja pergi lebih awal dari biasanya, entah karena apa.
"Runa!" Teriakkan Ari membuatku membalikkan badan, begitu pun dengan Desi.
Ari yang sedang bersama teman-temannya langsung berlari mengapiriku dan Desi. Dapat kulihat dengan sangat jelas, orang-orang disekitar kami memperhatikan hal ini. Atau lebih tepatnya ke arah Ari yang notabennya tidak pernah berbicara jika tidak peelu dan tidak pernah senyum saat menyapa orang seperti sekarang ini.
"Kenapa, Ri?" Aku menyambutnya dengan senyuman yang lebar.
Dia menaikkan kedua alisnya. Aku sedikit memiringkan kepala untuk melihat ekspresi dia yang berada jauh di belakang Ari. Melihat ekspresinya aku kembali melihat pada Ari dengan senyum geli dan anggukan kecil.
Ari mengangkat tangannya untuk melakukan tos. Dengan senang hati, aku menyambut ajakannya. Kami berdua pun sama-sama tertawa yang mengakibatkan semua mata jadi terpaku ke arah kami berdua.
Mungkin bagi mereka ini pemandangan yang aneh, aku dan Ari sama-sama orang yang jarang menunjukkan diri di depan umum dan sekarang malah saling bercengkrama, menunjukkan keakraban dan ekspresi yang jarang orang ketahui. Tentu saja hal itu menombulkan beragam tanya dan persepsi di masing-masing kepala orang.
"Lanjutannya nanti pas di kelas."
Aku menjawabnya dengan menggunakan isyarat tangan 'ok'. Ari pun kembali pergi ke arah teman-temannya yang ternyata masih diam di sana. Sementara Desi, kini telah menarikku jauh dari kerumunan orang-orang yang sedang berbicara banyak hal.
Mulai dari yang menganggap Ari itu adalah suamiku yang selama ini tidak orang ketahui. Aku yang selingkuh dengan Ari. Aku yang ganjen mendekati Ari. Pokonya segala hal dapat kudengar selama Desi terus menarik agar menjauh.
Terserahlah mereka mau bilang apa. Aku benar-benar sudah tidak peduli lagi. Aku tahu ini gila, tapi jatuh cinta padanya benar-benar telah membuatku lupa akan dunia.
Yang kupunya sekarang hanya dia. Sejak kemarin, tidak peduli bagaimana caranya, aku harus mendapatkan satu-satunya orang yang kupunya di dunia ini. Tidak peduli si cap sebagai seorang penjahat atau penjilat. Benar-benar tidak peduli.
Bahkan, jika akhirnya dia malah akan membenci pun aku tidak apa. Setidaknya, aku bisa merasakan kehidupan bersama dengan Ari sebagai temannya. Aku bisa tertawa lepas seperti tadi tanpa peduli omongan orang. Itu yang paling penting.
Desi membawaku ke taman belakang kampus yang memang sangat jarang didatangi oleh orang.
"Jadi Ari orangnya?" tanyanya sesaat setelah aku dan Desi duduk di bawah pohon.
Aku menggeleng pelan lalu memejamkan mata. Detik berikutnya, entah apa yang terjadi aku malah menangis dengan tersedu. Tidak dapat dipungkiri, sakit hati aku melakukan itu semua. Tidak peduli orang mendengar tangisanku atau tidak, air mata terus keluar. Suara yang dihasilkan pun malah makin kencang.
Kurasakan aku di tarik ke pelukan seseorang, yang pastinya itu adalah Desi. Sapuan hangat di punggungku malah membuatku makin menangis. Rasanya sudah lama sekali, aku tidak melepaskan semuanya seperti ini.
Kau tahu, aku cape menahan segalanya. Bersikap baik dan tersenyum di depan semua orang. Bahagia dengan apa yang sedang kurasakan. Aku juga manusia dan seorang wanita yang gampang tersakiti hatinya.