Aku memainkan tangan di atas pangkuan. Suasana mobil benar-benar membuatku merasa ketakutan. Ekspresinya yang sedang dia tunjukkan benar-benar tidak bisa membuatku bernafas dengan layak. Entah karena apa, saat pulang tiba, dia langsung menuntunku ke luar dari lingkungan kampus. Dia hanya bilang satu kata 'Ibu.'
Aku pikir, kita sedang dipanggil oleh Ibunya. Dan... memang sudah cukup lama dari terakhir kali kami berkunjung. Tapi tidak biasanya dia bersikap dingin seperti ini saat hendak ke rumah kedua orangtuanya. Suasana ini benar-benar membuatku kurang nyaman.
"Mm ... Ibu memanggil kita?"
"Ya," jawabnya singkat dan ketus.
"Karena hal apa ya, Mas?" Aku mencoba membuka suasana, aku benar-benar tidak menyukai suasana mencekam seperti ini.
"Tidak tahu."
"Kamu kenapa sih, Mas?" Aku tidak bisa lagi menahan untuk bertanya hal itu.
"Gak kenapa-kenapa."
"Terus kenapa sikap Mas jadi berbeda seperti ini? Tadi aja Mas balas pertanyaanku dengan ketus."
"Aku bilang nggak ya, nggak!"
Aku sampai memundurkan tubuhku ke pintu mobil mendengar teriakannya. Mataku mulai memanas begitu saja. Dengan cepat aku mengalihkan pandangan ke luar, pertama kalinya aku dibentak sekencang itu olehnya.
Hening. Tidak ada lagi obrolan lain setelah teriakannya padaku. Aku sedang sibuk mengontol diri agar tidak meneteskan air mata. Tidak boleh menangis lagi, aku harus kuat.
Butuh waktu lebih dari setengah jam hingga kita sampai di rumah kedua orang tuanya. Aku membuka pintu mobil dengan segera, namun belum juga pintu mobil terbuka, dia langsung menguncinya secara otomatis begitu saja. Aku masih menghadapkan tubuh ke arah luar.
"Runa," panggilnya lembut.
Aku hanya mengangguk kecil untuk menjawab pertanyaannya.
"Runa," panggilnya lagi.
Kali ini aku berdeham.
"Runa."
Aku menhela nafas pelan lalu mencoba tersenyum dan membalikkan badan untuk menghadapnya.
"Kenapa, Mas?" tanyaku dengan senyum lebar. Seolah lupa dengan segala hal yang sebelumnya dia lakukan.
Tangannya terangkat dan perlahan menggapai tanganku. Dia menggenggam tanganku dengan erat.
"Maaf," ujarnya pelan.
Aku terkekeh pelan. "Maaf untuk apa lagi, Mas?"
"Jangan pura-pura tidak mengetahuinya. Aku sadar aku salah dengan membentakmu tadi."
"Oh ... masalah bentakan tadi. Tidak apa lagi, Mas. Itu bukan hal besar. Lagipula setelah dipikir-pikir lagi, Mas memang pantas sih tadi mengeluarkan bentakan itu."
"Pantas apanya? Itu sama sekali tidak pantas, Run."
"Mas," panggilku pelan. Kini aku yang menggenggam tangannya.
"Lupakan hal itu. Aku benar-benar tidak apa-apa. Lebih baik kita turun, ibu pasti sedang menunggu kita."