Sikap dia padaku hari ini benar-benar sangat berbeda dari biasanya. Sama seperti saat pertama kali kita bertemu dan belum mengenal satu sama lain. Di depan Ibu dia bersikap biasa saja, tapi setelah kami ke luar rumah untuk pergi ke kampus, sikapnya berubah 100%.
Suasana mobil lebih mencekam daripada biasanya. Aku sama sekali tidak berniat mmulai percakapan apa pun. Sepertinya dia masih marah atas kejadiaan kemarin malam. Mobil berhenti di sebuah halte, tanpa bicara aku langsung pergi ke luar mobil.
Perjalananku dan dia hanya sampai sini, sisanya aku harus pergi sendiri seperti biasanya atau bersama Desi. Namun aku lebih memlilih pergi sendiri kali ini, keramaian dalam bis sepertinya cocok.
Mobil yang dia tumpangi langsung berjalan lagi setelah aku menutup pintu, tidak ada sapaan atau kata lainnya yang biasa dia ucapkan padaku. Dia benar-benar marah, namun apa dayaku. Aku bilang yang sebenarnya mungkin dia akan menghakhiri segalanya saat itu juga.
Pikiranku berkata, hubungan kita akan berakhir juga akhirnya. Aku sedang menyiapkan itu semua, tapi tidak sekarang. Aku masih belum siap. Untuk sekarang, pertengkaran seperti ini lebih baik daripada perpisahan.
Setidaknya, itu yang aku pikirkan.
Aku duduk diam di halte, menunggu bis datang. Pikiranku kembali melayang jauh, mengingat apa yanng bisa diingat. Berpikir apa yang yang bisa dipikir dan merasa apa yang bisa dirasa.
Suara klakson yang terus berbunyi membuyarkan lamunanku. Kulihat ada mobil putih di depan halte, jendala kaca mobil itu perlahan terbuka, Ari, dia yang ada di dalam mobil.
"Masuk, Run!" teriaknya dari dalam mobil.
"Aku tunggu bus saja!" jawabku dengan teriak juga.
"Tunggu bus apanya. Tuh, lihat ke jalan!"
Aku bangkit dari dudukku. Bus yang kutunggu sudah berangkat, sejak kapan bus itu melewat ke halte, aku sama sekali tidak menyadarinya.
"Jadi ikut tidak? Bus berikutnya akan datang sekitar 10 sampai 15 menitan lagi dan yang pasti akan buat kamu terlambat sampai kampus."
Dengan berat hati aku mengangguk kecil lalu pergi ke sisi lain mobil dan duduk diam di samping Ari. Mobil pun melaju, suara musik memenuhi indra pendengaranku. Ari benar-benar fokus menyetir, dia tipe orang yang hanya bisa fokus pada satu titik.
Tak lama kemudian, kami pun sampai di parkiran kampus. Aku berjalan bersamanya untuk pergi ke kelas, beberapa kali kami terlibat mengobrol kecil. Namun di tengah perjalanan, ternyata banyak orang yang memperhatikan kami.
Aku sudah bilang belum, kalau Ari itu lebih populer, kakak tingkat ataupun adik tingkat pasti mengenalnya, bahkan sampai mahasiswa/i di universitas lain juga. Ari pandai bernyanyi dan dia selalu mengisi acara di berbagai kampus ataupun acara lainnya.
Melihat banyak orang yang melihat ke arah kami berdua sepertinya keputusanku salah ikut Ari sampai ke lingkungan kampus. Apalagi sekarang berjalan berdampingan.
"Ri, aneh deh," bisikku pelan.
"Anggap aja gak ada. Udah biasa aku."
"Lah, kamu udah biasa, tapi aku nggak."
"Biasakan diri aja."
Aku mencoba mengontrol diriku agar terlihat biasa-biasa saja. Mempercepat langkahku, Ari ikut berjalan cepat. Memperlambat, ari ikut melambat. Ari benar-benar ingin dicincang olehku sepertinya. Ekspresinya masih datar-datar saja saat aku melihat ke arahnya sekilas.
Bersiap utuk hidup tidak tenang saja Runa, batinku.
"Runa!"
Panggilan seseorang membuatku mendongkakkan kepala. Desi, oh... dia sungguh sahabat sekaligus penyelamatku.
"Ada Desi di sana, terima kasih sudah mengantarku ke sini," ucapku dengan senyum. "Dan bersiaplah untuk mati, Ri," lanjutku dengan berbisik.
Aku langsung melangkah ke arah Desi, tetapi baru 2 langkah kakiku pergi dari Ari, suara tawa Ari berhasil mengehetikanku dan orang-orang disekitar kami. Ari tertawa dengan kencang.
Omongan orang makin terdengar ditelingaku. Menghiraukan semuanya, aku kembali berjalan ke arah Desi yang juga sedang menatap Ari yang tertawa.