Arya memasukkan kemejanya yang terkena noda cokelat ke mesin cuci. Dia akan merendamnya semalaman sebelum bibi menggilingnya besok. Sebelum benar-benar menyemplungkan baju ke air dengan campuran sabun itu, Arya mengerling bercak cokelat itu sebentar, tergelak mengingat kompilasi ekspresi yang tadi dibuat oleh wajah seorang Hana Humaira.
Pertemuan pertama mereka terjadi di lapangan sekolah. Hana adalah anak baru yang sedang mengikuti orientasi, dan Arya-lah salah satu kakak pembinanya. Gadis itu mudah dikenali oleh teman-temannya karena taat aturan dan bertanggung jawab. Kelompok anak baru yang diketuainya selalu jadi kelompok unggulan dalam berbagai tugas.
Mungkin karena kesan penurut itulah, Arya jadi memikirkan sebuah ide iseng. Err, lebih tepat dikatakan kurang ajar. Sesi terakhir orientasi dan Arya meminta Hana untuk mencium pipinya. Permintaan tak beretika yang segera dicegah oleh rekan-rekannya. Arya baru menyadari permintaannya tak layak disampaikan ketika beberapa detik kemudian pipinya terasa kebas.
Hana menamparnya dengan keras di depan seluruh siswa. Hilang sudah kesan anak baik di benak Arya, berganti dengan sorot mata Hana yang menggelegak oleh amarah.
“Kakak bisa meminta saya melakukan tugas paling konyol sekalipun. Tapi untuk perbuatan rendahan seperti itu, kakak harus berpikir BERULANG kali untuk membuat saya mau melakukannya,” ucapnya penuh penekanan.
Ego Arya karena merasa dipermalukan di depan umum membuatnya selalu bersikap ketus pada Hana sejak peristiwa itu. Hana juga demikian, gadis itu seolah membuat tebing tinggi yang tak bisa dia panjat. Hingga beberapa peristiwa yang terjadi setelahnya membuat Arya menelaah hatinya lagi.
“Ar, belum tidur?”
Lamunannya buyar. Arya menoleh pada sumber suara. “Belum. Papa sendiri bukannya tadi bilang mau istirahat?”