“Kamu cerita apa aja sama papa kamu?” tanya Hana mengintimidasi begitu mereka masuk mobil.
Arya yang sedang memasang seatbelt justru bertanya balik tak kalah menyudutkan. “Kenapa? Kamu takut dipecat gara-gara perbuatanmu dulu padaku?” cibirnya.
Dia peramal, ya, kok tahu isi pikiranku? Hana menggumam kaget dalam hati.
“Iya,” jawabnya lurus. “Tapi aku nggak akan membiarkan itu terjadi karena kamu duluan yang memulai pertengkaran kita.”
“Kita?” Arya mengedikkan dagu, memberi kode pada Hana agar memasang sabuk pengaman. “Itu istilah romantis?” godanya menyipitkan mata.
Kali ini Hana tak berselera lagi berdebat, dia melambai-lambaikan tangan menyuruh Arya bersegera melajukan mobil, beralih duduk menghadap jendela. Pria itu tergelak melihatnya. Dia kemudian memasang kacamata hitam dan menurunkan sun visor di atas kepala. Butuh dua pelindung, sebab terkadang sinar matahari masih membuat matanya silau.
Lima menit kemudian dan Pajero hitam itu sudah bergabung dengan kendaraan lainnya di jalan protokol Malang.
Diantarkan pulang oleh kawan SMA di jam pulang sekolah dan Arya yang mengenakan sunglasses begini, mengingatkan Hana pada Ervan yang sering mengantar-jemputnya ketika masih SMA. Kadang diam-diam mengendarai mobil Wijaya yang diparkir di tetangga sebelah sekolah, tapi lebih sering berboncengan motor. Dan Ervan juga punya kebiasaan mengenakan kacamata hitam kalau sedang mengemudi.
Berbicara tentang kedekatan mereka, Rini punya andil besar mempertemukan. Wijaya, sang pelukis terkenal sedang mencari kawan Ervan untuk diberikan beasiswa hingga lulus, bagian dari janji pada dirinya sendiri jika lukisan mampu membuatnya kaya. Rini yang tergabung dalam klub cheerleader mendengarnya ketika Ervan sedang bicara dengan teman-temannya dari klub basket. Dia langsung menghampiri Ervan, menginfokan keadaan Hana, sebelum kemudian memberitahu dan menanyakan persetujuan Hana.
“Kenapa ngelihatin aku begitu? Cakep ya?” Arya tiba-tiba nyeletuk, berdeham pelan.