“Ayo, musik latar sudah dimulai,” Edo mengulurkan tangan.
Dua menit sejak diumumkan, satu bagian aula utama disulap menjadi area lapang. Rombongan staf pesta berseragam putih-hitam dari luar aula bergegas masuk dan membereskan meja. Menilik ekspresi para undangan, Hana menebak dansa tak ada dalam praduga acara hiburan kejutan yang biasa dicanangkan Aditya pada tiap pesta perusahaan.
Tamu undangan segera mengajak teman di sampingnya untuk mengikuti keseruan acara. Kawan-kawannya di meja yang sama sudah mengayunkan kaki ke tengah area begitu piano dimainkan. Hana akhirnya memosisikan kedua tangan di belakang pundak dan genggaman Edo.
Mereka berdansa mengikuti irama The Second Waltz gubahan Andrè Rieu.
“Na,” tegur Edo ketika mereka sudah berdansa selama satu setengah menit. Beberapa kali, dengan satu tangannya di punggung Hana, dia sigap melindungi gadis itu yang hampir jatuh karena salah melangkah. “Kita sedang ada di pesta. Bergembiralah, tidak usah mencemaskan apapun.”
Hana mengembuskan napas, sedang berusaha menyamakan tempo kakinya dengan gerakan Edo. “Sayangnya, kali ini aku masih akan cemas sebelum acara ini berakhir, Mas.”
Edo memerhatikan sinar mata Hana yang tidak fokus. Musik latar masih melantunkan bait-bait awal, mereka masih akan berdansa dua-tiga menit lagi, tidak akan bisa segera pulang.
“Memangnya apa yang membuatmu khawatir, alih-alih menikmati pesta yang jarang diadakan ini?”
Arya. Hana menjawab dalam hati. Tepatnya kutukan sebaris kata bernama pesta.