Unmeasured Bread

zeytanzil
Chapter #10

Denial

Hana terduduk begitu saja di sofa ruang tamu, clutch bag-nya tergeletak di samping. Tatapannya kosong seperti baru melihat hantu. Indikasi bahwa dia masih bernapas hanya kelopak matanya yang mengedip pelan seakan berirama.

“Hei, beb. Gimana acaranya? Lancar, kan? Kekhawatiranmu benar-benar nggak terbukti, kan?”

Rini baru keluar dari kamar, bertanya bertubi-tubi antusias, melompat ke sofa di sebelah Hana. Dia memang sengaja tak tidur lebih dulu, ingin tahu cerita sahabatnya.

“Dia bilang suka, Rin,” ucap Hana lirih seakan belum makan. Padahal dia mengonsumsi banyak sekali kue selundupan dalam perjalanan pulang, hingga Edo harus berhenti membeli air di minimarket tepi jalan karena Hana tersedak.

“Suka? Siapa?” Rini membelalakkan mata begitu mengerti. “KAK ARYA BILANG BEGITU? DIA NEMBAK KAMU? IYA?”

Hana bahkan tak memedulikan gendang telinganya yang hampir pecah karena Rini berteriak heboh. Dia juga masih berwajah tak percaya ketika Rini mengguncang-guncangkan tubuhnya yang seperti jeli, menyelamatinya. Hana baru benar-benar ‘waras’ setelah berganti baju, mandi dan bersiap untuk tidur.

“Gimana ini, Rin?”

“Gimana apanya? Iyain, lah.”

Hana beranjak duduk, memukul lengan Rini hingga sahabatnya itu mengaduh. “Enteng banget, sih, Rin, jawabnya. Aku masih bingung ini.”

Rini menemaninya bersila di atas kasur. “Hana sayaang, listen to me.” Dia menggenggam tangan sahabatnya. “Dari yang aku lihat, sebenarnya kamu juga suka sama kak Arya, sejak lama.” Rini menekankan kalimat terakhir agar Hana memerhatikan hal tersebut dan tak mengiterupsi.

“Mungkin sejak SMA, atau entah kapan persisnya aku nggak tahu,” Rini mengangkat bahu. “Yang jelas, alasan kamu menolak semua laki-laki yang selama ini mendekati adalah kak Arya, kamu menunggunya. Begitu juga dengan bekerja di Putera Bakery. Kamu bilang menyesal karena harus berurusan dengan kak Arya lagi, tapi bagiku tidak. Kamu sebenarnya sudah nggak masalah, karena tahu bahwa kak Arya bukan sosok menyebalkan seperti awal-awal masa SMA. Kamu hanya denial, Na. Kamu menyukai kak Arya, namun masih saja menyangkal dengan membangun tembok tinggi sebagai pertahanan.”

Hana membuka mulut ingin membantah, namun kata-kata Rini seperti memetakan kondisi hatinya dengan jelas. Dia menarik tangannya dari genggaman Rini, kembali menyurukkan kepala ke bawah bantal. “Nggak tahu, ah, Rin,” serunya menyerah.

Lihat selengkapnya