“Berhenti tertawa mengejek begitu, Na,” ujar Arya menegas-negaskan setelah berkali-kali ucapannya diabaikan Hana. Sejak 10 menit lalu di depan restoran BBQ hingga mobil tiba di lampu merah pertigaan menuju rumah Hana, gadis itu tak henti terbahak.
Hana mengulum bibir menahan gelak. “Aku baru lihat laba-laba sebesar tadi. Bisa dipelihara nggak, ya?” tawanya menyembur.
“Aku berbuat begitu demi kamu tahu,” Arya membalas. “Kapan lalu saat kuantarkan kamu bilang nggak mau jadi bahan omongan kalau kenal sama presdir. Aku nggak tahu kalau yang di sampingmu itu karyawan Putera Bakery, makanya aku melambaikan tangan,” jelasnya panjang lebar, agak kesal agak merajuk.
“Iya, iya, aku tahu. Lucu aja kok, kamu sampai menempel di mobil kayak laba-laba merayap begitu,” Hana hampir saja terbahak lagi, tapi urung karena Arya menolehkan kepala dan memelototinya. “Iya, stop, iya. Aku nggak akan tertawa lagi,” ucap Hana menggulung bibir, menggerakkan tangan seperti menarik resleting di depan mulut, tanda akan diam.
Candaan itu menghabiskan waktu lima menit setelahnya, waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke depan rumah Hana dari pertigaan dengan mobil. Jika beberapa hari lalu 10 menit diantarkan Arya terasa lama, kali ini Hana takjub bahwa 15 menit menuju rumahnya hanya seperti sepelemparan batu.
“Ternyata kamu masih ingat jalan menuju rumahku, ya,” ujar Hana sembari turun dari mobil. Dulu, Arya bukan hanya membopongnya saat menemukan Hana sakit di sekolah, namun juga mengantarnya pulang ke rumah bersama Rini dengan meminjam mobil Ervan. Kala itu, Ervan masih ada kelas, tak bisa mengantarkan sendiri. Seingat Hana, Ervan akhirnya juga menyusul saat jam istirahat.
“Tentu saja,” Arya bergabung dengan Hana berdiri di dekat mobil sembari mengantongkan kunci di saku celana, mengamati fasad rumah yang berwarna putih tulang dan taman kecil dibalik pagar yang tampaknya sudah memiliki lebih banyak penghuni.
“Masih tinggal sama Rini?” tanyanya.
Hana mengangguk menjawabnya. Tapi dia segera menelengkan kepala mengamati Arya. “Money power, ya. Kamu nggak tanya bu Heni dan Chandra, padahal dulu kami tinggal bersama saat kamu kesini. Kamu sudah mencari tahu tentangku, ya, pak presdir?”
Arya mengelus leher, tersenyum kagok karena ketahuan. “Aku ingin tahu kabarmu, Na. Maaf ya, kalau terkesan kurang ajar.”
Oh iya, Arya suka sama aku sejak SMA? Kamu tahu darimana?
Kelihatan jelas kali, Na. Kak Arya itu pintar. Kegiatannya sehari-hari hanya sibuk belajar, berorganisasi dan ekskul. Dia juga nggak pernah punya pacar meski banyak anak-anak perempuan yang terang-terangan bilang suka. Untuk apa dia meluangkan waktu berharganya untuk bertengkar omong kosong sama kamu kalau dia nggak tertarik?
Ya bisa saja dia sangat sebal dan ingin aku enyah saja.
Ya buat apa dia susah-susah adu mulut kalau ada cara yang lebih gampang? Mengeluarkanmu dari sekolah, misalnya. Toh, dia punya uang dan koneksi.
Jawaban dari percakapan sebelum tidur bersama Rini malam setelah pesta itu tampaknya tak perlu sulit dicari tahu. Arya tak akan repot mencari tahu kabarnya jika lelaki ini tak memiliki ketertarikan padanya. Oh iya, kali ini bisa disebut suka, sebab Arya sudah mengaku.
Kok bisa dia suka sama aku, ya, Rin? Padahal aku biasa saja, nggak sekeren latar belakang Arya. Aku jadi merasa seperti Cinderella.
Alasan orang jatuh cinta bermacam-macam, Na, tergantung pesona apa yang membuatnya jatuh hati. Cantik, tampan, pintar, bersemangat, bertanggung jawab, baik hati. Bisa apapun. Mungkin kak Arya menemukan satu pesonamu yang menggugahnya dan tak ditemuinya pada gadis lain. Jelasnya, tanyakan saja padanya kalau kamu penasaran.
“Ar, soal pesta kemarin,” untuk sejenak Hana ragu melanjutkan ucapan.
“Ya, kenapa?” Arya bertanya tenang. Sikap santai yang akhirnya mengantarkan energi lebih pada Hana.