“Ya ampun, JI CHANG WOOK! Kenapa ada di Malang?”
Arya dan Hana baru saja bertukar nomor telepon ketika seruan heboh itu mengalihkan perhatian mereka. Jarak lima meter dari Pajero hitam tempat mereka saling bersandar, Rini mengepalkan kedua tangan di depan mulut, sangat takjub melihat sosok yang ada di sebelah kiri Hana. Tas belanjaannya tak lagi dia pedulikan, jatuh pasrah di samping kaki, dua kaleng minuman menggelinding begitu saja di jalanan beraspal.
Tak butuh waktu lama untuk Rini menghampiri keduanya. “Kak Arya? Ini kak Arya? Ya ampun, aku kira Chang Wook, kak. Mirip ya ampun,” sekarang bukan hanya mengepalkan tangan gemas, dua kaki Rini juga berjingkrak-jingkrak riang.
“Chang, chang siapa?” Arya bertanya pada Rini dan Hana bergantian, bingung.
Rini bergegas meraih ponselnya, mengetik sesuatu di laman pencarian lantas menunjukkannya pada Arya. Potret pria sangat rupawan dengan bibir menawan khasnya, mengenakan setelan berwarna safir, tampaknya sedang berpose untuk pemotretan.
“Loh iya, mirip,” celetuk Hana, memutar mata antara layar dan wajah Arya, membandingkan. “Hanya saja mata Arya cenderung sipit. Chang Wook versi lokal,” Hana membentuk dua ibu jari dan telunjuknya seperti bingkai foto pada Arya, matanya menyipit seakan sedang memindai.
Arya yang sudah paham bahwa Chang-Chang itu adalah aktor Korea lewat membaca keterangan di bawah foto yang diperlihatkan Rini, kini meletakkan dua jari mirip tanda centang di bawah dagu dengan percaya diri. “Wajah-wajah sepertiku ini memang pantas dibandingkan dengan artis,” ucapnya.
Rini dan Hana tergelak, berseru mengejek bahwa bibit-bibit sombong Arya saat SMA masih tersisa. Tapi tentu saja mereka tak menampik bahwa Arya jauh lebih rupawan sekarang. Rini sampai berspekulasi Arya meminum air berbeda di Kanada untuk perawatan, sebab tadi Rini tak mengenali, padahal dia adalah fans berat Arya.
“Nggak sekalian minta tanda tangan, Rin? Mumpung waktuku senggang, karena biasanya banyak dokumen yang mengantri,” Arya mengibaskan rambut, berkata dengan penuh gaya.
“Oh, boleh boleh, sekalian,” Rini sungguh-sungguh mengeluarkan kertas dan pulpen, melayani candaan Arya. “Kapan lagi ya kan, dapat tanda tangan presdir Pangestu Grup tanpa harus membuat proposal. Bisa nih buat salinan tanda kepemilikan properti di perumahan Griya Natalia,” cerocosnya berkelakar ketika Arya (benar-benar) membubuhkan tanda tangan. Dia mengembalikan dua benda itu pada Rini setelah selesai, disambut dengan seruan protes Rini karena hanya mendapati garis lurus dan emotikon meleletkan lidah disana.
“Aku balik dulu, ya,” ujar Arya sambil tertawa. Hana mengangguk mengiyakan. Tadi Arya bilang bahwa dia punya janji mendiskusikan sesuatu dengan papanya, tak bisa pulang terlalu malam ke rumah.
“Kak, nggak mampir dulu? Minum atau makan camilan gitu?” tentu saja protes tadi hanya bercanda. Rini mengangkat tangan ceria, memberi kode ke arah rumah di belakangnya.
“Kapan-kapan aja,” Arya menggeleng, melangkah memutari mobil. “Nanti kuhubungi lagi, Rin. Na, besok aku jemput, ya,” ucapnya mengedipkan mata manis. Hana membalasnya dengan melambaikan tangan riang hingga mobil Arya tak terlihat lagi.
Rini mencubit pipi Hana, tapi langsung mengaduh. “Ih, panas banget. Kukira aku pegang pinggiran wajan di atas kompor.”