“Sini aku yang pegang kalengnya,” Arya mengambil gulungan benang di tangan Hana, menarik ulur layangan berbentuk ikan di angkasa. Hana di sebelahnya berseru girang, sambil sesekali memayungi mata dari sinar matahari sore.
“Ke kiri, ke kiri,” Hana berseru lagi, melambai-lambaikan tangan ke arah yang dimaksud. Arya tampak berusaha keras mengendalikan layangan dari laju angin, tangannya kukuh menggenggam benang.
Menjawab ucapan Hana tentang kencan dua hari lalu, Arya mengajak Hana berpelesir ke pantai. Niatnya memang ingin bersantai dan menikmati deburan ombak saja. Tapi kejutan, di pantai itu sedang ada festival layang-layang antar desa. Wajah Hana seketika cerah, menggamit lengan Arya ke salah satu stan yang menjual layangan lengkap dengan benang, membelinya satu.
Ikut menerbangkan layang-layang dadakan.
“Yaah..” Hana berseru kecewa, bibirnya maju dua senti. Layangan ikan mereka putus, melayang jatuh setelah peserta lain mengaitkan benang dan memutuskan ‘hidup’nya.
Dramatis. Hanya beberapa menit dia terbang.
Tapi Arya justru tersenyum senang. Dia baru mencoba menerbangkan layang-layang. “Eh, seru juga,” menoleh pada Hana. “Ayo beli lagi satu.”
Hana menatapnya sangsi. “Mau main lagi?”
Arya mengangguk.
“Nggak usah, deh. Kamu beli satu, nanti mainkan di rumah aja, Ar,” Hana mengalihkan pandangan, menjauh dengan bahu lemas. Dia duduk bersila di hamparan pasir, menumpukan tangan di dagu, menatap peserta lain yang berseru heboh.
Ekor matanya mengikuti gerak Arya duduk di sebelahnya. Kalau tadi dia kesal mereka kalah, sekarang Hana menatap Arya dengan senyum jahil.
"Kamu...nggak pernah main layangan, ya?”
Arya mengangguk kalem. “Aku hampir nggak punya temen main waktu kecil,” membersihkan kakinya dari pasir.
“Ck, pantes kalah. Tahu gitu aku aja yang main tadi,” Hana mencibir.
Arya menyipitkan mata, tanggap atas cibiran Hana. “Hee, kamu kalau tanya soal game-game masa kecil, aku nggak bisa jawab. Tapi kalau soal bisnis, aku baru bangun tidur pun, kamu bisa tanya apa saja.”
“Oh iyaa? Masaa?”
“Eh, nyolot ya pacarku ini,”
Mata Hana melebar, dia meleletkan lidah. Meski begitu, hatinya menghangat mendengar ucapan Arya barusan. Dia masih tidak bisa membayangkan bahwa ternyata dirinya juga menyimpan rasa pada pria tampan nan borjuis di hadapannya ini.
Entah tepatnya sejak kapan.
Barangkali sejak Arya selalu menolongnya tanpa pamrih.
Sikap hangat yang menyentuh hatinya, dan tak diduga datang dari rival pria yang selalu adu mulut dengannya setiap hari.
“Jangan selalu memandang Arya dari sisi negatif.”
Kalimat Ervan adalah penegas saja. Titik tolak yang menyadarkannya bahwa dirinya sudah lama menyukai Arya.
Tanpa sadar, Hana menatap wajah Arya lama.
“Kenapa menatap aku begitu?” Arya berdeham. “Kamu masih belum terbiasa dengan wajah aristokrat ini?”
Tak urung, Hana tergelak. Menepuk-nepuk tangan yang sedari tadi memilin pasir. “Aku mau tanya deh, Ar.”