Begitu ucapan itu meluncur dari mulut Rini, perasaan bersalah seketika memenuhi hati Hana. Untuk komentar-komentarnya tentang betapa keduanya tak cocok, tentang ketidakmungkinan seorang Rini dan Ervan jadi kekasih padahal dulu Hana-lah yang begitu dekat.
Selama ini dia berkomentar tanpa filtrasi, padahal bisa saja kata-katanya itu menjadi anak panah untuk Rini.
“Maafin aku, Rin.”
Pantas saja Rini kemarin bilang ingin menginap di rumah ibu dan tidak pergi bersama seperti yang biasa mereka lakukan. Mungkin Rini merasa berat satu ruangan dengannya.
Rini menganggukkan kepalanya pelan. “Aku memang sempat menyalahkan kamu, membenci satu udara yang kuhirup bersama kamu. Tapi untuk apa, Na. Toh, aku tahu kamu menyukai siapa. Ucapanmu selama ini juga nggak salah. Kami memang nggak cocok.”
“Nggak Rin,” Hana ingin mengatakan kata-kata lain menjelaskan kesalahan atau menganulir ucapannya dulu, namun dia tiba-tiba merasa tidak ada perlunya dituturkan sekarang. “Maafin aku,” hanya itu yang bisa dia ucapkan.
Rini menghela napas lagi sebelum menundukkan kepala. Dia memain-mainkan jari tangan diantara lipatan kakinya. “Tapi, baguslah kalau kamu sadar, Na,” ucapnya, tak sinkron dengan percakapan mereka sebelumnya. Hana menangkap sedikit tawa lemah dari sahabatnya, tapi dia tahu Rini sesungguhnya ingin menangis.
Lepas diam-diaman dan helaan napas beberapa menit, Rini akhirnya menceritakan masalah yang membuat energinya menciut belakangan ini.
“Empat hari lalu kak Ervan bilang, bahwa dia tak bisa lagi mempertahankan hubungan sebab perasaannya selalu terarah padamu. Dia meminta kami untuk putus. Dia berkata nggak bisa lagi terus-terusan menyakitiku dengan memberi harapan.”
“Lalu aku balik bertanya, ‘memangnya aku nggak tahu? Aku sudah tahu sejak SMA, jauh sebelum aku menyatakan perasaan. Lalu kalau kakak memang menyukai Hana, kenapa dulu mengiyakan pernyataan cintaku? Kakak selama ini menipuku?’ Kak Ervan terdiam lama sekali mendengarnya sampai ponselku panas. Dia meminta maaf berkali-kali, berkata sudah berusaha mengenyahkan perasaan padamu, namun tak pernah berhasil. Dia meminta maaf, tapi masih ingin mengakhiri hubungan.”
“Kamu orang baik, Rin, dia bilang begitu berkali-kali juga,” Rini tersenyum ironis. “Itu yang selalu kubilang saat kamu bertanya alasanku menyukai dia. Tapi kata-kata itu berbalik padaku seperti bumerang.”
“Aku menyukai kak Ervan lebih dari yang bisa dia bayangkan. Aku sangat menyukainya, tapi sekarang harga diriku jatuh, Na. Dia seharusnya tidak menggunakan alasan ini untuk menjauh dariku. Apa arti hubungan jarak jauh kami selama hampir tujuh tahun baginya, kalau hatinya berpihak pada sahabatku sendiri? Dia mau mempermalukanku di depanmu? Bilang lurus-lurus, ‘inilah Rini yang berhasil kutipu dengan cinta sepihak selama tujuh tahun, padahal aku menyukai sahabatnya?’”
“Ish, menyebalkan.” Rini memalingkan muka, mengusap berkali-kali air mata yang terus mengalir.
Hana menatap sahabatnya simpati. Rini tidak pernah sekalipun menangis dalam menghadapi masalah seberat apapun. Kawannya ini adalah tipe orang yang lebih memilih menyerang balik jika ada orang usil yang mengganggu. Namun dengan Ervan, Rini bahkan tak bisa berniat melakukannya. Seperti yang dibilang tadi, Rini sangat menyukai kakak kelas mereka itu. Ervan adalah cinta pertamanya.
Hana beranjak menuju kursi Rini lantas melingkarkan lengan di pundak sahabatnya erat.