Aditya menghabiskan tetes terakhir americanonya. Di sekelilingnya, pengunjung kafe berangsur ramai. Ini malam Minggu, saat cocok untuk bercengkrama dan beristirahat setelah seminggu mengisi penuh jadwal kesibukan.
Di hadapannya, Edo berkisah dengan gaya santai. Aditya memintanya datang untung mengobrol ringan mengenai Putera Bakery, sekaligus mengulik info tentang kinerja Arya dari sudut pandang Edo sebagai manajer.
Edo adalah salah satu staf kebanggaannya. Bertalenta, terampil, dan dapat dipercaya. Meski bukan lulusan kampus ternama, Aditya bangga telah merekrut pemuda yang kini dianggapnya kawan diskusi setara selain Arya.
“Sejauh ini, laba resto sudah meningkat 30 persen, Pak. Ide memaksimalkan penjualan lewat social media marketing dari pak Arya banyak berkontribusi di dalamnya. Saya rasa, sekarang bapak punya lawan sebanding,” Edo mengakhiri penjelasan dengan tertawa kecil.
Aditya justru terbahak. “Tidak sia-sia aku menahan rindu bertahun-tahun.”
“Bagaimana, Pak?”
“Abaikan saja, Do,” Aditya mengibaskan tangan. Edo hanya menggaruk kepalanya bingung, sebelum mulai mengerti bahwa yang dimaksud Aditya adalah tahun-tahun yang dihabiskannya tanpa Arya.
Presdir mudanya itu memang tak pernah pulang sekalipun dalam jangka waktu tujuh tahun pendidikan. Aditya pernah bercerita bahwa Arya ingin fokus belajar, magang mencari berbagai pengalaman sebanyak-banyaknya agar mandat jabatan presdir baru--yang memang akan disandangnya--diemban oleh orang yang tepat.
“Oh iya,” Aditya berkata setelah teringat sesuatu. “Kamu sudah memutuskan? Gadis yang kuberi fotonya beberapa hari lalu?”
Ingatan Edo melayang pada potret wartawati muda dengan senyum manis di meja kerjanya. Dia hanya melirik sekilas, itupun saat Aditya mengangsurkannya bersama selembar biodata beberapa minggu lalu.
“Belum pak,” jawabnya mengelus leher, tersenyum canggung.
Aditya melipat tangan di depan tubuh, memerhatikan ekspresi Edo sejenak. “Pasti sudah ada perempuan lain di hatimu. Isn’t it?”
Kali ini Edo berdeham, terkejut Aditya akan tahu hanya lewat pandangan mata. Masih dengan senyum di wajah, Aditya beranjak. Sudah waktunya mengakhiri obrolan.
Dia menepuk bahu Edo sebelum berlalu, “Aku juga pernah muda, Do. Hahahaha.”
***