Unmeasured Bread

zeytanzil
Chapter #18

It Must Be A Candle Light Dinner

Restoran bergaya Eropa itu lumayan sepi untuk statistik pengunjung mal Sabtu malam. Kursi-kursinya hanya terisi separuh, dengan nyala lilin lembut di masing-masing meja. Alunan musik klasik terdengar ke seantero ruangan. Seorang musisi mengenakan tuksedo putih memainkan piano di salah satu sudut restoran.

Suasana ini sebenarnya cocok untuk candle light dinner romantis seperti di drama atau film yang sering ditonton Hana. Memakai gaun terbaik dan memakan hidangan lezat sembari bercengkrama manis bersama pasangan.

Tapi, apalah daya. Hana memperhatikan blus dan celana jeans yang dia kenakan. Dia mendesah pelan. Nggak begini ‘kan ceritanya, gumamnya dalam hati.

“Kenapa, Hana? Makanannya nggak cocok?”

Aditya bertanya penasaran, asik mengunyah steik. Masing-masing tangannya menggenggam garpu dan pisau. “Mau kupesankan makanan lain? Spageti?”

Hana buru-buru mengangkat tangan. “Oh, nggak usah, Pak. Ini saya mau makan.”

“Ah, nggak usah manggil bapak, lah. Panggil papa aja. Ah, om juga boleh. ‘Kan udah jadi pacarnya Arya.”

Hana urung menyentuh peralatan makannya. Dia terbatuk-batuk pelan, mengambil segelas teh lemon dingin di hadapan dan meminumnya hingga habis separuh. Arya di sebelahnya menepuk-nepuk pelan punggung gadis itu sambil tertawa.

“Pa, jangan ngegodain mulu dong. Beneran keselek ntar dia.”

Aditya baru keluar dari toko arloji milik kawannya, ketika melihat sosok yang mirip dengan Arya. Tanpa pikir panjang dia menyapa, tidak melihat bahwa Arya sedang bersama dengan Hana.

Sejujurnya dia terkejut dengan fakta itu, karena Arya memang belum berkata apa-apa bahwa mereka sudah menjalin hubungan. Tapi meski begitu, hatinya lega ketika Hana-lah orang yang akhirnya berada di sisi putranya. Dari cerita Arya selama ini dan pertemuan canggung mereka beberapa minggu lalu, Aditya tahu bahwa gadis itu punya kepribadian yang baik.

Tawa pelan mengalun dari Aditya. Dia meminta maaf pada Hana, meminta segelas air putih pada pelayan. Gadis itu berangsur membaik, meski batuknya masih terdengar berjeda. Pipi Hana memerah, Arya menempatkan tangannya disana untuk meminimalisir hangat yang menjalar.

Aditya hanya memerhatikan dengan seksama. Sepertinya dia tidak perlu khawatir dengan hubungan mereka. Teringat sesuatu, dia mengambil tas kecil di kursi sebelah, mengangsurkannya pada Arya.

“Jam Rolex yang kamu pesan udah papa ambil, Ar. Tadi sekalian mampir. Abdur titip salam buat kamu.”

“Wah, makasih, Pa,” Arya mengeluarkan isi tas dengan wajah berbinar. Kotak persegi berhiaskan nama brand besar tersebut dan arloji berbahan dasar platinum yang melingkar elegan di dalam kotak.

Dia langsung memakainya di pergelangan tangan sambil bergumam akan mengambil sendiri jika tahu Abdur—pemilik salah satu brand arloji lokal, pecinta Rolex sekaligus rekan Aditya di komunitas pengusaha Malang—sudah kembali dari Surabaya. Di Malang tak ada gerai resminya, harus ke kota sebelah untuk membeli. Arya sudah memesan arloji berpelat warna ombrè biru incarannya tersebut sejak dua minggu lalu, namun belakangan sedang sangat sibuk untuk sekadar menyetir dua jam mengambil pesanannya langsung ke Surabaya. Akhirnya menitip saja pada kolega dekat Aditya itu.

"Omong-omong, papa ngapain di mal malam minggu begini? Nggak ketemu calon mama Arya, ‘kan?” tanya Arya sambil lalu, mematut-matut arloji dan membereskan kotaknya.

“Ngaco. Nggak ada yang bisa gantiin mama kamu, Ar,” Aditya berucap dengan sedikit bersungut-sungut. “Ngopi sama Edo. Tapi papa pulang duluan.”

“Eh, mas Edo?” tanya Hana dengan keadaan lebih baik kali ini.

Aditya meletakkan peralatan makan, mengusap mulut dengan serbet yang disediakan. “Iya. Edo Prasetya.”

Hana seketika memutar kepala, mengitarkan pandangan ke dalam maupun luar restoran. Khawatir Edo ada di suatu tempat dan melihatnya sedang bersama Arya.

“Manajer Putera Bakery, Pa?”

“Iya. Memangnya kenapa? Hana khawatir sekali kayaknya.”

Arya tertawa pelan di tengah kunyahan potongan kentang panggang. “Kita buat kesepakatan, jangan sampai staf Putera Bakery tahu kalo aku dan Hana pacaran, Pa. Ribet menurut Hana.”

Lihat selengkapnya