Senin siang ini, matahari sedang bersinar terik. Sinarnya menyapu semua elemen di bumi, menghantarkan panas yang menyengat. Siang musim kemarau di Malang kadang-kadang sama menyengatnya seperti kota metropolitan.
Hana terburu-buru membuka pintu rumah. Napasnya tersengal, bajunya basah oleh keringat. Begitu melepas sepatu, dia segera berlari menuju kulkas.
“Naaa! Udah pulang?” Rini menyapa, sibuk memasak makan siang di dapur.
Hana hanya mengacungkan dua jarinya yang membentuk bulatan. Dia sibuk mendinginkan tubuh dengan membuka semua pintu kulkas sekaligus. Rini terbahak melihatnya.
“Mandi sana. Isi bak mandi pake es batu yang banyak.”
“Iya, enak kali ya,” kini Hana mengibas-ngibaskan baju, memasukkan lebih banyak hawa dingin ke tubuhnya. Beruntung sekali masih sisa dua jam sebelum shift kerja Putera Bakery. Setelah mandi dan santap siang, dia akan istirahat sebentar.
Sementara itu, Rini sudah menata makanan di meja makan. Setiap hari mereka bergantian memasak, disesuaikan dengan jadwal kesibukan masing-masing. Tahun-tahun akhir kuliah harus lebih mengatur waktu dengan cermat, apalagi baik Rini maupun Hana sambil bekerja sampingan.
“Gimana? Di-ACC bab tiganya?” tanya Rini sambil mengisi piring makannya dengan nasi.
“Belum, banyak coretan lagi, revisi lagi,” Hana menghembuskan napas lelah, menghampiri meja makan karena mencium wangi sambal. Urusan mandi nomor dua saja, perutnya sudah berbunyi lapar. Terong dan tempe lalap buatan Rini tak bisa dimakan nanti-nanti.
“Kamu gimana?”
Rini menutup penanak nasi. “Sama aja, Na. Mana dospemku susah dihubungi. Harus telepon atau bertamu ke rumahnya.”
Hana mengangguk-angguk mengerti, menghibur Rini dengan ekspresi wajah yang seolah mengatakan, begitulah, template masalah mahasiswa semester akhir.
“Oh iya, kemarin malam kak Arya bilang apa? Dari kemarin penasaran tapi lupa terus.”
Rini buru-buru menarik kursi, bertanya dengan raut wajah penasaran. Membuat Hana yang berdiri di balik kursi seberang tergelak dan urung mencuil tempe goreng.
“No problem. Pak Aditya nggak komentar apa-apa, dan itu berarti AKU SELAMAT.”
“Ceilah,” Rini berseru menggoda. “Jangan-jangan, nikah besok pun nggak masalah, dong?”
“Hush. Ngaco,” Hana yang hendak menyendok nasi di rice cooker di belakang Rini, memukul bahu sahabatnya keras. Tapi tak urung pipinya memanas, ketika mengingat imajinasi tak sengajanya malam itu tentang ‘calon mertua’. Piring yang berada di genggaman nyaris saja terlepas.
“Eh, tapi bisa aja lho, Na,” dengan mulut penuh oleh makanan, Rini masih melanjutkan hipotesanya. “Nih, ya. Secara logika, kalian sudah sama-sama dewasa, saling suka. Kak Arya juga sudah mapan. Kalau aku jadi kak Arya yang bucin banget sama Hana Humaira, aku nggak akan ragu untuk mengajakmu menikah.”
“Iya deh, iya,” Hana menyerah membiarkan sahabatnya berspekulasi apa saja. Piring kecilnya sudah penuh oleh nasi hangat, dia melangkah memutari meja untuk duduk di kursinya.
“Kak Ervan udah ada telepon lagi, nggak, Rin?” Hana mengganti topik pembicaraan ketika sudah asyik mengudap lalap terong dengan sambal.
Sudah hampir dua minggu berlalu, dan Hana rasa ini waktu yang tepat untuk kembali membahas hubungan dua orang dekatnya ini. Sebetulnya suasana hati Rini membaik dengan cepat seperti biasanya, namun Hana merasa bukan hal yang elok jika menanyakan hal tersebut hanya berselang beberapa hari.
Syukurlah, Rini hanya mengangkat bahu ringan, seakan memang sudah tak peduli. “Aku nggak menghubunginya setelah itu. Dia yang memutuskan hubungan kami, aku nggak mau terlihat seperti orang bodoh lagi dengan memohon maaf atau meminta penjelasan.”
Hana menghela napas pelan. “Susah juga sih, ya. Kak Ervan tertutup sekali orangnya.”
“Nggak tahulah, Na. Aku mau move on aja, cari pacar baru,” ucap Rini ringan.
"Memangnya bisa?” goda Hana.
“Kenapa nggak?”