Kafe Delta tidak terlalu besar.
Hanya pantry tempat menyeduh kopi dan mempersiapkan pesanan pelanggan, sisanya dapur dan beberapa meja serta kursi. Orang-orang datang biasanya hanya untuk membeli, lantas pergi dengan gelas plastik di genggaman. Masih menjadi misteri kenapa pemiliknya irit membangun, padahal kafe dengan slogan “coffee is your life” itu punya halaman yang luas.
Sudah dua tahun Rini bekerja paruh waktu di kafe ini, bersamaan dengan Hana melamar kerja di Putera Bakery. Masa dua tahun adalah rekor terlama kawannya menetap. Diantara rekam jejaknya, malah ada yang hanya bertahan 5 bulan. Tidak cocok sama bos, katanya. Tapi pada akhirnya Rini justru berlabuh di Delta, yang punya atasan lebih galak daripada sebelumnya.
Pak Adi tuh marah-marahnya bergizi, Na. Kami jadi tambah tahu. Bukan sekedar meledak-ledak nyaring tanpa isi seperti tong kosong. Lagipula, gajinya disini juga besar, sudah cukup menutupi biaya kuliah tanpa ngajar privat tiap Sabtu.
Begitu jawabnya ketika ditanya.
“Rin!” Hana menyapa dengan ceria begitu tiba. Dia melangkah dengan riang menuju pantry, mengedipkan mata pada Rini yang sedang berada di depan mesin kasir melayani pembeli, memberi kode ‘aku pesan latte dengan sirup hazelnut seperti biasa’. Hanya dua dari lima kursi yang kosong, dan Hana duduk di dekat jendela, yang jika menolehkan kepala dapat menghadap rumpun bunga di halaman.
Harus Hana akui, meski minimalis, kafe ini punya pemandangan yang menakjubkan.
Rini duduk di hadapannya lima menit kemudian, mendorong gelas tinggi yang pinggirannya mulai mendingin. “Gimana privat terakhir? Lancar?”
Hana mengangguk, mulai meneguk Hazelnut Latte-nya. “Pada nangis, kata mereka nggak ada yang menjelaskan materi bahasa Inggris lebih mudah dari kak Hana,” dia tergelak. “Yah, apa boleh buat, tugas tahun akhir kuliah makin banyak. Gaji dari Putera Bakery sama tabunganku juga udah sangat cukup sampai wisuda.”