Arya mengetuk-ketuk kemudi dengan gelisah. Meski sudah sore, hawa Malang terasa panas gara-gara perasaan gugup yang melandanya sedari tadi. Sesekali kepalanya menoleh ke kiri, tak tenang menunggu kehadiran Hana.
Setelah lima menit yang terasa panjang, sosok gadis itu akhirnya muncul dari balik gang, berlari-lari kecil mendekat.
“Yuk,” ajak Hana riang begitu masuk mobil.
Merujuk pada prasangkanya sedari tadi, dia diam-diam mengamati Arya, mencari-cari petunjuk di wajah pria itu tentang kebenaran hipotesa. Tapi dia akhirnya memilih diam sebab wajah dan senyum Arya entah mengapa tampak menyeramkan. Dia tidak tahu bahwa pria itu berusaha menyembunyikan kegugupan. Usaha yang gagal karena senyumnya terlihat bak smirk.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalan raya Malang yang kini dipadati oleh kendaraan. Sejenak melewati kawasan kampus yang ramai oleh mahasiswa dengan jas almamater dan ransel di bahu, sepertinya sedang ada kegiatan kemahasiswaan.
Dan nyaris 45 menit berlalu, ketika Arya menghentikan mobil di depan gerbang sebuah sekolah. Hana menyipitkan mata heran mengetahui tempat tujuan yang dimaksud Arya kali ini.
“Err, kita mau bertemu guru? Ini Sabtu sore Ar, paling-paling hanya ada penjaga sekolah dan petugas kebersihan,” ujar Hana, tak dapat menyembunyikan pertanyaan.
Arya justru menggeleng, suasana jantungnya sudah lebih tenang kali ini, tak segugup tadi. “Nggak ada orang, aku udah minta mereka pulang,” dia menggoyangkan seikat kunci-kunci yang bergemerincing.
"Terus?” Hana masih bertanya, namun sesaat kemudian dia segera menyilangkan tangan di depan tubuh. Bola matanya berputar misterius. “Kamu. Awas aja kalau macam-macam. Masih ingat kejadian di lapangan, ‘kan? Aku nggak akan segan-segan...”
“Nggak, nggak,” potong Arya lalu tergelak, mengerti maksud ucapan kekasihnya. “Aku nggak mau ditampar seperti dulu lagi. Ayo turun.”
Hana mengurai perisai tangannya, memperbaiki ujung blus dan berdeham. Meski masih menebak-nebak isi kepala Arya, dia menurut, mengikuti langkah pria itu memasuki halaman sekolah dengan kunci yang dibawa.
Tak banyak yang berubah dari sekolah ini sejak kelulusan mereka. Hanya beberapa renovasi di tiga-empat kelas serta kantor dan banyaknya mural yang tersebar di dinding basecamp kelompok kegiatan ekstrakurikuler.
Arya dan Hana secara alami menautkan tangan menyusuri lorong-lorong sekolah. Mengenang tiga tahun masa SMA yang membayang di sudut-sudut ruang kelas, kantin, ruang OSIS, bangku warna-warni yang mengitari lapangan utama.
“Sebentar,” celetuk Hana tiba-tiba di tengah percakapan mereka tentang Arya yang dulu suka menyebut gadis itu dengan ‘cewek sial’, namun mengubah panggilan menjadi sebutan nama setelah sadar dia menyukai Hana.
“Itu terjadi setelah kamu mengantarku pulang ke rumah karena sakit, ‘kan ya? Aku ingat banget meminta Rini mengawasi kamu, barangkali Arya Putra Pangestu butuh bantuan ustaz karena kesurupan. Saking mustahil pagi tiga hari kemudian dia tiba-tiba menegur di lapangan sekolah, ‘Udah sembuh rupanya kamu, Na.’” Hana menirukan cara bicara Arya lalu tergelak.
Arya ikut tertawa, mengiyakan pertanyaan Hana.
“Tapi memangnya kamu suka aku cuma karena aku pemberani, Ar?”
“Nggak, itu hanya pemicu. Aku jadi benar-benar suka sebab aku mulai melihat sisi dadu yang tak kulihat sebelumnya.”
“Maksudnya?”
Arya mengajak Hana duduk di salah satu bangku panjang berwarna di lapangan sekolah. Pria itu mulai bercerita.
“Suatu kali, aku dengar dari Ervan, bahwa papanya memberikan beasiswa untuk siswi yang sangat membutuhkan biaya sekolah. Setelah tahu kamu orangnya, aku mulai penasaran.”
Hana menegakkan kepala menatap Arya lewat sisi pipi, menyimak.
“Kamu mungkin nggak nyadar, aku sering mengikuti 17 years old Hana Humaira pergi bekerja paruh waktu di berbagai tempat setelah pulang sekolah. Aku menunggunya hingga selesai bekerja jam 7 malam, melihat kegigihan dan kemandirian gadis muda itu. Aku juga melihatnya tersenyum lebar seolah tak pernah berdiri berjam-jam melayani pembeli di hadapan adiknya yang sedang dirawat di rumah sakit.”
“Lalu setelah itu aku jadi ingin berada di sisimu, Na. Aku ingin menjadi tempatmu bersandar. Aku jadi ingin menjadi seseorang yang bisa kamu andalkan di tengah kesulitan itu.”
Arya menoleh pada Hana di sisinya, tersenyum sekilas.