Ervan menggeret kopernya pelan. Beberapa depa sebelum pintu keluar, seorang petugas dari perusahaan penerbangan yang tadi dia gunakan, mencegat langkah. Melihat label di kopernya, memastikan identitas penumpang. Ervan melepas senyum saat petugas itu mengucapkan terima kasih.
Di ruang kedatangan, dia menelepon agen sewa mobil yang sudah dipesannya semalam. Teleponnya segera diangkat, dan mereka berkata akan segera mengutus stafnya yang bertugas untuk menghampiri Ervan. Selang 10 menit, Ervan sudah duduk di balik kemudi, mengenakan kacamata hitam. Sinar matahari Surabaya siang ini sungguh menyengat.
Sepanjang perjalanan menuju Malang, ingatan-ingatan lama dari benaknya menyeruak di benak.
Lepas pameran lukisan ketiganya sukses besar tahun 2010, papa berkata akan tinggal di negeri Sakura dan mengajak Ervan untuk turut serta, sekalian berkuliah. Ervan yang sudah punya rencana ke Australia, menolak halus. Jadilah papa hanya berangkat sendirian dan Ervan rutin pulang ke Jepang setahun sekali.
Ervan mengerti bahwa papa tidak ingin lagi tinggal di Malang. Kota itu penuh kenangan akan ibunya, dan papa memutuskan untuk menutup lembaran kenangan setelah sekian tahun mama tak berkabar. Kebetulan seorang koleganya di Jepang menawarkan kerjasama untuk mengerjakan proyek seni prestisius disana.
Berbeda dengan papa yang ingin melupakan istrinya, Ervan justru pergi ke negara yang dulu menjadi destinasi favorit mama. Ibunya selalu berkata ingin berlibur ke Australia tapi selalu tak terwujud. Ervan berharap dia akan bertemu mama disana meski kemungkinannya sangat kecil.
Lamunan Ervan terhenti saat ponselnya berdering. Dia segera memencet tombol di earphone yang terhubung pada benda panjang pipih itu di holder mobil. Panggilan yang sedari tadi dia tunggu.
“Anda sudah menemukan alamatnya?”
Detektif di seberang mengiyakan. “Saya sudah mengirimnya ke ponsel anda, Pak. Sesuai dengan yang saya sampaikan kemarin, dia ada di Malang.”
Ervan tersenyum lebar, usahanya berbulan-bulan menuai hasil yang sangat baik. “Terima kasih banyak atas usaha anda. Kirimkan saja semua detail pembayaran yang harus saya lunasi. Sekali lagi terima kasih banyak.”
Percakapan itu berakhir beberapa detik kemudian. Ervan menepikan mobil sejenak lalu segera membuka pesan yang berupa petunjuk denah lokasi.
“Nggak salah?” dahinya berkerut dalam. Dia mencubit layar ponsel bingung, memperbesar miniatur peta alam berwarna hijau pupus yang melingkari titik merah tujuannya.
Detektif itu tidak salah menginvestigasi, ‘kan? Kenapa ibunya malah menginap disana, tidak di penginapan murah meriah atau hotel yang banyak tersebar di Malang?
Ervan sangat mengenal alamat rumah itu. Saat SMA dia sering mengantar si empunya mengambil berkas-berkas untuk beasiswa atau sekolah yang tertinggal, bantu membersihkan berempat bersama Rini dan bu Heni, atau sekedar menemani ketika sang pemilik merindukan orangtua. Dia bahkan hafal mati dengan perempatan sebelum masuk gang serta rumpun bugenvil terawat di halaman.
Alamat hunian kelas menengah di sebelah rumah lama (mantan) kekasihnya. Alamat rumah Humaira-nya.
***
Hana meneguk segelas air putih di hadapannya sekaligus, menggugurkan rasa gugup yang melandanya sejam terakhir. Arya yang sedang melipat lengan kemeja sementara menunggu pesanan datang, tertawa pelan melihatnya.
“Papa suka sama kamu kok, Na. Nggak usah terlalu dipikirin,” ucapnya menenangkan Hana.