Unmeasured Bread

zeytanzil
Chapter #26

Pertemuan (2)

“Iya, ini udah nyampe.”

Hana menghentikan langkah di lobi mal, spot janjiannya dengan Ervan. Dia mengitarkan pandangan, memeriksa barangkali Ervan sudah lebih dulu tiba.

“Jadi naik angkot tadi? Ervan nggak jemput?” Arya bertanya sambil lalu. Terdengar suara helaian kertas di seberang.

“Nggak. Dia masih punya acara lain dulu katanya.”

Tidak menemukan sosok Ervan, Hana memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak, berbaur dengan lautan pengunjung yang mulai memadati mal. Dia memasukkan ponsel ke dalam tas selempangnya dan memperbaiki earphone di telinga.

“Kamu nggak mau ikutan? Udah tujuh tahun nggak ketemu kak Ervan, ‘kan?”

Arya tergelak. “Nanti aja kutelepon sendiri, sekarang dia perlunya cuma sama kamu. Lagipula, kasihan nanti cuma bakal jadi nyamuk. Aku nggak bakal fokus ngobrol sama Ervan, tapi ke kamu.”

Hana mau tak mau ikut tertawa. Dia refleks menatap cincin berlian di jari manis tangan kirinya. Jantungnya berdesir lembut. 

“Kamu seperti roller coaster, tahu, Ar.”

“Maksudnya?”

“Bikin deg-degan terus.”

Gerakan tangan Arya yang sedari tadi mengecek dokumen-dokumen perusahaan, terhenti. Bibirnya mengulum senyum. Dia menyandarkan kepala ke sandaran kursi lantas tertawa kecil.

“Sejak kapan kamu bisa ngegombal, Na? Duh, aku kalah. Hahaha.”

“Nggak tahu, ya. Mungkin ketularan kamu.”           

“Astaga!” Arya pura-pura berseru. “Hana Humaira sudah bisa menggombal. Padahal dulu galak banget, kurayu aja nggak mau.”

“Ih, dasar pendendam,” canda Hana. Dia mengamati dua orang pria dan wanita yang sedang makan di restoran Jepang di seberangnya. Tampak belakang dari tempatnya berdiri, siluet wanita itu mirip Rini.

Pintu ruang kerja Arya diketuk, dan terdengar perbincangan sejenak. “Na, sudah dulu ya, aku ada rapat. Nanti aku chat.”

“Humaira.”

Rasa penasaran Hana tentang sosok yang mirip Rini seketika luntur mendengar nama belakangnya disebut. Hanya satu orang yang memanggilnya begitu, dan sosok Ervan sudah berdiri di sampingnya. Jari telunjuk tangan kiri Ervan yang tadi digunakan menepuk pundak, kini mampir di pipi agak tembam Hana, seperti sedang menusuk squishy.

“Kak Ervan!” Hana berseru ceria, tak bisa menyembunyikan rasa senang bertemu Ervan.

Kali terakhir pertemuan tatap muka mereka adalah tahun 2010, mengantarkan Ervan ke bandara bersama Om Wijaya. Itu tujuh tahun lalu dan sosok Ervan yang ada di hadapan tak jauh beda dengan saat itu dan yang biasa dia lihat di layar panggilan video. Rupa dan sinar mata lembutnya yang kata Rini bak Pangeran Wang Wook di drama Korea Moon Lovers masih menawan seperti dulu. Hanya saja kini dia tampak lebih berwibawa dan ada sedikit bayang hitam di bawah kedua pelupuk mata. Internship nya di salah satu kantor arsitek Melbourne tampaknya membuat jam tidurnya banyak tersita.

Ervan tergelak atas sambutan riang Hana. “Sehat, Ra? Kuliah sama kerjamu, gimana? Lancar?”

Terlepas dari masalah dengan Rini, Hana tetap merindukan senior penyayang di hadapannya ini. Sejak SMA hingga kini, dia tak akan berhenti berterimakasih dan berhutang budi, pada Ervan dan Om Wijaya.

“Sehat, Kak. Kuliahku sudah tahun keempat, lagi ngerjakan skripsi. Pekerjaan di Putera Bakery juga seru, menyenangkan. Gajinya besar, aku nggak perlu privat ngajar sana-sini lagi,” jelasnya panjang lebar dengan wajah berseri-seri.

“Syukurlah kalau begitu, aku nggak perlu khawatir,” Ervan ikut tersenyum senang, mengacak-acak rambut Hana sayang.

“Ih, Kak. Ini sulit nyatoknya, lho. Malah dibuat berantakan.”

Sudut-sudut bibir Ervan tertarik turun, matanya membulat, antara terkejut dan takjub mendengar keluhan Hana yang saat SMA suka sekali rambutnya dia awur-awur. Dia mengangkat kepala, tertawa pelan.

“Ternyata di luar ruang chat kamu memang sudah lebih dewasa, ya, Ra,” ucapnya di tengah gelak.

Hana bersedih pura-pura kesal, kali ini meminta Ervan mengecek helai rambut yang masih berantakan. Setelah yakin rapi, mereka akhirnya beranjak menuju restoran cepat saji untuk makan malam.

“Yak, menu pesanan terakhir. Burger keju tiga lapis favorit kakak,” Hana meletakkan bungkusan gendut seukuran genggaman tangan di baki milik Ervan, menambah sesak anggota nampan selain segelas medium minuman bersoda dan kentang goreng ukuran besar.

Ervan diam-diam tersenyum haru. Hana masih ingat menu favoritnya tiap kali mereka ke restoran cepat saji.

Dia berinisiatif memberikan separuh kentang gorengnya ke baki Hana yang dipenuhi paket ayam goreng krispi. Gadis itu hendak menolak, tapi Ervan memaksa, bilang bahwa santapan makan siang masih membuatnya kenyang.

“Kak Ervan makan siang sama siapa? Sendirian?”

Ervan menggeleng, mulai memakan hamburgernya. “Ada. Kenalan.”

Hana mengulum bibir, paham bahwa Ervan tak ingin membahas lebih lanjut jika jawabannya singkat begitu. Dia lalu mencari topik obrolan lain, pelan-pelan menggiring percakapan menuju misi Rini.

Lihat selengkapnya