Diana berdiri melipat kedua tangan. Dari balik kaca jendela, dia menatap sinar terang bulan purnama. Kebiasaannya saat sedang banyak pikiran. Andi sering mengeluh soal ini, karena saat melakukannya, Diana bisa berdiri berjam-jam hingga kerumitan pikirannya terurai.
Pertemuannya dengan lelaki itu bisa dibilang sederhana, kalau tidak dikatakan paradoks. Wijaya mengajaknya melihat pameran lukisan yang diadakan di museum daerah. Diana ikut meski enggan, dan disanalah dia bertemu dengan Andi. Di depan lukisan berlatar merah hati bergambar cupid.
Satu-satunya karya dari Wijaya yang menarik hatinya. Sekaligus membuatnya berkenalan dengan Andi.
Sama-sama jenuh dengan keadaan biduk rumah tangga, mereka seperti menemukan muara. Hubungan itu berlanjut hingga hampir satu tahun, sebelum istri Andi mengendus perselingkuhan mereka. Diana sempat ingin mundur memutuskan hubungan, tapi Andi bersikukuh membujuknya tinggal. Pria itu menjanjikan akan membereskan semuanya: menalak istri sah, dan kabur bersama Diana tinggal di luar negeri.
Dan janji itu rupanya termasuk membunuh istri Andi.
Ketika menceritakannya di London, Andi berkata bahwa pembunuhan itu tidak disengaja. Istrinya bersikeras tidak mau menandatangani surat cerai, tapi Andi juga enggan bertahan. Lalu entah bagaimana, di tengah kemarahan dan kekalutan, istrinya sudah terbujur kaku dengan lilitan tali di leher. Untuk menyamarkan pembunuhan, dia menggantung istrinya di kamar, dan menuliskan surat wasiat.
Fakta yang baru diketahui Diana beberapa hari lalu, setelah dia berkata ingin memutuskan hubungan dengan Andi. Lelaki itu naik pitam, menyumpahi Diana yang dinilainya hanya menginginkan harta. Padahal dia sudah berkorban banyak dengan menghabisi sang istri demi bersama dengan perempuan pujaan.
Saat itu, Diana hanya tahu dua hal. Hubungan ini tidak seharusnya dilanjutkan, dan dia harus segera menyingkirkan perasaan bersalah yang mengungkung setelah sekian tahun sudah tumpul.
Dia terburu-buru menyiapkan perjalanan ke Indonesia dan menganggap keluarga Andi masih tinggal di rumah ini setelah sekian tahun berlalu. Nyatanya, Diana tidak menemukan apapun selain sarang laba-laba dan perempuan sebelah rumah—yang terlihat seumuran dirinya—yang menatapnya heran karena berdiri lama di depan pagar.
Heni, nama wanita berjilbab itu. Tetangga dekat keluarga Andi, sekaligus informan Diana yang paling utama. Dari Heni dia menyimpulkan satu hal, bahwa anak perempuan Andi hidup dengan penuh kerja keras setelah ditinggalkan ibu dan adik lelakinya. Info yang berguna, sekaligus membuat kepalanya pening lima hari belakangan.
Apakah keputusannya benar untuk memberitahu gadis itu, bahwa sang ayah adalah penyebab kepedihan hidup yang dialaminya?
***
Kamis siang, dan dua sahabat ini sama-sama pulang kuliah lebih awal.
“Jadi dia menyuruhku menunggu?” Rini bertanya sambil matanya memindai barisan buku di rak toko bagian Manajemen. Hana yang mengikuti di belakang menganggukkan kepala.
“Dia akan menghubungi kamu kalau urusannya di Malang sudah selesai.”
“Sebenarnya apa, sih, yang lagi dia lakukan sampai pulang kesini padahal lagi magang? Penasaran aku.”
“Aku juga.”
Rini menarik buku incarannya dari rak, ganti mengikuti Hana ke etalase Ilmu Gizi. “Dia nggak bilang soal magangnya, Na?”
Hana menunduk memerhatikan judul-judul buku ajar ilmu Gizi yang terpampang secara vertikal. “Katanya menghabiskan jatah cuti setahun terakhir yang nggak pernah dipakai.”
“Terus sampai kapan di Malang?” tanya Rini, mengalungkan lengan di bahu kawannya.
Hana mengedikkan bahu. “Nah, itulah, kak Ervan nggak bilang.”
Lebih tepatnya, dia tak bisa bertanya. Sebab pertanyaan itu tertindih oleh pertanyaan lain yang lebih membuatnya penasaran saat dia berdua saja dengan Ervan di dalam mobil.
Tidak mungkin, ‘kan, Ervan benar-benar menyukainya?