Hana merasa wajah perempuan di hadapannya mirip dengan seseorang. Dia seperti sering melihatnya entah kapan dan dimana. Sedari tadi pula, perempuan itu menatapnya sedemikian rupa, membuatnya menggaruk tengkuk rikuh.
Benar-benar mirip Andi. Semua struktur wajahnya bagaikan pinang dibelah dua, kecuali matanya.
“Nak,” Diana mengerjapkan mata, memutuskan memulai pembicaraan. Setelah sempat bimbang, dia memutuskan tak akan menunda menghapuskan rasa bersalahnya lagi. Anak ini benar-benar harus tahu faktanya, terlepas dia akan terluka atau tidak.
“Seperti yang kau tahu, aku menyewa rumah kosongmu,” Hana mengangguk mengiyakan kalimat itu. “Dan aku meminta untuk bertatap muka lewat perempuan berjilbab tetanggamu itu, karena aku ingin menyampaikan fakta penting padamu.”
Diana menghela napas sebelum menyebut nama yang barangkali sudah berlumut di benak gadis itu. “Andi..adalah ayahmu, bukan?”
Hana tertegun mendengar nama yang tak pernah dia sebut di hadapan orang-orang terdekatnya itu. Nama laki-laki yang tak pernah dia dengar kabarnya sejak kematian ibu 12 tahun lalu. Dia seolah menghilang ditelan kabut, padahal Hana sangat merindukannya.
“Bagaimana..anda mengenal ayah saya?”
Bahkan rekan-rekan kerja yang sering datang ke rumahnya berkata tak mengetahui keberadaan sang ayah. Demikian pula kakek-nenek orangtua Andi. Hana berkali-kali datang ditemani Heni, namun jawabannya selalu sama hingga mereka wafat tahun 2009 akibat kebakaran dan perusahaan ekspedisi milik keluarga itu ditutup permanen enam bulan kemudian.
Bertahun-tahun dia mencari dan perempuan di hadapannya baru saja menyebut nama ayahnya. Siapa wanita ini?
“Aku adalah perempuan yang hidup bersamanya bertahun-tahun, Nak,” Hana tak perlu menerka lagi sebab Diana menjawabnya dengan lugas. “Kau boleh menamaiku dengan apapun julukan memalukannya di negara ini. Dan ketahuilah, apapun yang terlintas di pikiranmu saat ini, adalah benar.”