Bau desinfektan samar-samar tercium ketika Hana lamat-lamat membuka mata. Sinar lampu berkilau di langit-langit dan beberapa petugas medis berpakaian hijau terlihat sibuk berlalu-lalang.
Rumah sakit?
Hana mengerjapkan mata ketika kilas-kilas peristiwa satu persatu menghampiri ingatan. Akhirnya dia tahu alasannya berakhir terbaring disini dengan juluran infus di lengan. Peningnya bertambah parah dan suhu tubuhnya memuncak hingga tiba-tiba saja pandangan matanya berubah gelap di halaman restoran pasta tadi.
Sekarang peningnya sudah memudar, namun dia dapat merasa tubuhnya masih meriang.
Hana menelan ludah, berusaha bergeser memperbaiki posisi bantal. Lehernya agak tak nyaman.
Tapi detik itu juga dia tersenyum haru.
Arya tengah menelungkupkan kepala di sisi kiri ranjang sembari menggenggam tangannya.
Mata sipit agak bulat pria itu terpejam tenang. Punggungnya yang dibalut kemeja bergerak teratur, menandakan proses bernapas yang senada. Satu sisi rambut lebat lurusnya yang ditata curtain menutupi kedua alis, rebah begitu saja di lipatan lengan. Menilik dari gulungan kusut kemeja di siku dan laptop di nakas di hulu ranjang, Hana menebak tunangannya ini datang kemari di tengah pekerjaan.
Hana bergerak pelan, memperbaiki posisi bantal di kepala dengan tangan satunya yang bebas dari jarum infus, berusaha agar tak mengganggu Arya yang tampak terlelap. Tapi dia tak berhasil, sebab pria itu terbangun. Sesungguhnya Arya tak tertidur hingga pulas.
“Oh, udah bangun?”
Hana urung meraih ujung bantal, kembali merebahkan kepala.
“Udah lama disini, Ar? Sampai kerja remote dari sini kayaknya.”
Arya menoleh pada arah kerlingan Hana. Laptop terlipat dan berkas-berkas yang diletakkan begitu saja diantaranya. Rupanya tadi dia rebah begitu saja sebelum membereskan. “Itulah untungnya punya pacar CEO, Na,” Arya mengusap kedua mata, berkelakar.
Hana tersenyum lemah. Bersama pria ini, pertemuan dengan Diana dan berita yang dia terima hari ini seolah tak ada artinya. Jika ini serupa adegan dalam drama yang Rini tonton saban weekend, hanya ada mereka berdua berlatar tone warna lembut. Tak ada keriuhan para petugas medis di Unit Gawat Darurat.
Hana memerhatikan gerakan lembut Arya yang kini memperbaiki anak rambut di dahinya. Tatapan kekasihnya hangat seperti biasa. Jika ucapan perempuan itu adalah fakta dan masa lalu keluargaku sesuram yang dia katakan, akankah sinar mata Arya tetap dipenuhi cinta seperti sekarang? Akankah kekasih tuan mudanya ini bersedia menerima satu paket dirinya? Atau dia harus bersiap melepas pelukan hangat yang tak disadari dibutuhkannya selama ini?
“Apa yang kamu pikirkan, Na?”