6 Oktober 2005, 06.30 WIB.
Pagi itu, Heni sungguh heran sebab Hana yang biasanya selalu siap lebih dulu dari Rini tidak muncul-muncul di teras rumah, padahal saban hari suara cerianya memanggil-manggil Rini tak pernah telat terdengar tiap jam enam seperempat. Mereka biasanya diantarkan bergantian ke sekolah oleh orangtua kedua keluarga, dan hari ini giliran suaminya.
Hadi sudah berpakaian rapi menyantap sarapan ketika Heni akhirnya memutuskan untuk pergi saja menjemput. Mengabaikan Rini yang berseru protes karena kunciran rambutnya lepas setelah sang ibu menurunkan tangan.
Entah mengapa, Heni diserang firasat tak enak. Tidak biasanya ibu Hana tidak on-time begini. Dia mempercepat langkah meniti batu-batu pijakan kaki di sepanjang halaman rumah Hana.
Mobil bapak Hana tidak ada, padahal tiap pagi selalu terparkir di luar pagar. Tak terdengar tangis atau rengekan Chandra maupun suara penghuni lainnya. Tidak juga tercium aroma apapun dari dapur, padahal wangi telur goreng konsisten menguar hingga ke rumah sebelah saban kali keluarga Hana sarapan.
Dan rupanya firasat Heni terbukti. Dia masuk dari pintu depan yang tak terkunci, hanya demi mendapati pemandangan mengerikan di kamar utama: ruang pertama dengan celah pintu terbuka yang membuatnya curiga.
Ibu Hana tergantung lemas tak bernyawa di langit-langit kamar dengan lilitan tali tambang di leher.
Dia hampir berteriak keras karena gentar dan terkejut, namun sistem otaknya lebih dulu mengantarkan kekhawatiran pada kondisi dua anak Andi. Apa yang akan terjadi pada dua anak kecil itu jika melihat ibu mereka dalam kondisi seperti ini? Menyaksikan sosok paling berarti dalam dunia mereka, tak bernyawa lagi karena memilih meninggalkan mereka hidup sendiri tanpa sosok ibu?
Heni segera menaiki tangga menuju lantai dua, mengecek apakah Hana atau Chandra yang baru berusia 5 tahun sudah terjaga. Dan ketika mendapati dua anak itu masih lelap, Heni segera menghubungi Hadi untuk bekerjasama menciptakan skenario selanjutnya.
***
“Kamu masih ingat bahwa om-mu hakim, ‘kan, nduk?” Heni lanjut bercerita. “Setelah menutup pintu kamar utama—agar kalian tak melihat jasadnya—dan mengungsikan kamu dan Chandra yang masih nyenyak dengan hati-hati, dialah yang selanjutnya berperan besar. Bilang padaku agar tak merusak TKP, memanggil paramedis serta rekan polisi kenalannya, dan menggunakan semua koneksi dari profesi hakimnya, termasuk wartawan, untuk menutupi fakta bahwa ibumu bunuh diri. Kepada para tetangga kami juga tak memberitahu kebenaran dan menyebar isu bahwa desas-desus bunuh diri itu tidak benar, menggantinya dengan serangan jantung. Saat itu, kamu dan Chandra masih kanak-kanak, apalagi adikmu masih 5 tahun. Kami tidak mau kalian mengalami trauma, menyalahkan diri sebagai penyebab kematian, atau membenci ibumu karena mengambil keputusan seperti itu.”
“Nduk, kami berhutang budi pada keluarga kalian. Andi banyak membantu ketika kami kesulitan materi. Ibumu juga selalu memperlakukan kami dengan baik. Maka dari itu, aku dan Hadi tak ragu mengasuh kalian bersama Rini. Lagipula, Hadi selalu menginginkan anak laki-laki yang tak bisa kami wujudkan adanya. Dia sangat menyayangi Chandra sampai akhir hayat.”
Hana memejamkan mata, berusaha menenangkan perasaan ngilu di hatinya. Ibumu tidak bunuh diri, Nak. Ayahmu yang bertanggungjawab atas kejadian itu. Ucapan Diana kembali terngiang.