Ervan terbangun dengan tubuh lelah. Overthinkingnya semalam membuat jam tidurnya mundur hingga hampir subuh. Sekarang benderang sinar matahari sudah menyembul panas dari balik tirai. Dia beranjak dari kasur untuk minum, namun kembali berbaring karena kepalanya tiba-tiba berdenyut.
Apa hubunganmu dengan anak itu? Pacar?
Melampaui itu, Ma. Bagiku dan papa, dia sudah seperti keluarga.
Kemarin, dia ingin mengajak ibunya makan bersama lagi. Dia sudah di perempatan dekat perumahan Mayapada ketika melihat Diana menyetop taksi di luar gang. Ervan akhirnya memutuskan mengikuti saja, barangkali Diana sedang ingin berjalan-jalan atau berbelanja atau apa, kemungkinan dia bisa mengajak makan siang di tengah rencana ibunya.
Namun ternyata tujuan Diana adalah Hana, di restoran pasta favorit keluarga Wijaya, tempat mereka bertemu beberapa hari lalu. Dari kursi berjarak dua meja di seberang dua perempuan itulah, dia akhirnya tahu alasan Diana meninggalkannya, beserta semua alasan dibalik dadanya yang terasa seperti dibebani batu berton-ton sejak kemarin.
Dia tak punya nyali untuk menampakkan muka di hadapan Humaira-nya.
Dia ingat dia mematung lama sekali di restoran, hingga keributan kecil pasangan pengunjung di sebelahnya terdengar, berkata ada yang pingsan di halaman parkir. Dia segera beranjak ketika firasatnya tak nyaman. Hana sudah tak terlihat di kursi tempatnya duduk tadi, menyisakan Diana yang ikut memerhatikan keramaian di luar lewat jendela kaca restoran.
Sepertinya dari kejadian itu, dari melihat sosok Ervan yang membopong Hana, Diana akhirnya tahu bahwa gadis yang dia temui di restoran punya hubungan dengan Ervan. Sebab itulah yang pertama kali ditanyakan ibunya ketika mereka berbicara di lobi hotel Safir. Diana segera berkemas lepas pulang dari restoran dan Ervan terpaksa menghubungi detektif sewaan lagi untuk melacak lokasi ibunya.
Keluarga? Kau bercanda? Hubungan darah saja tidak ada.
Kenapa tidak? Mama juga bisa menjadikan papa Hana sebagai keluarga baru secara ilegal, ‘kan? Menurutku, Ma, bukan hanya dia pembunuhnya. Mama juga pelaku dibalik peristiwa kematian ibu Hana.
PLAK!
Ervan merebahkan lengannya menutupi kedua mata. Secara fisik, tamparan ibunya sudah tak terasa perih. Hatinya-lah yang sampai sekarang masih terpukul. Bagaimana bisa ibunya menjadi penyebab penderitaan Hana selama ini? Bagaimana bisa dia meninggalkannya dan papa demi bersama dengan penjahat? Tidak cukupkah kebahagiaan keluarga kecil mereka untuk ibunya dulu?
“Ya tidak cukup, lah, Ervan. Gimana bisa kamu masih bertanya? Kalau mama bahagia dan merasa cukup bersama kami, tidak mungkin dia berselingkuh,” gumamnya menghembuskan napas, berbicara pada dirinya sendiri.