Unmeasured Bread

zeytanzil
Chapter #32

Jurnal Mama

Na, aku udah pulang dari hotel Zamrud. Mau titip apa buat makan siang? Jangan mie setan soul food-mu itu, bisa-bisa kamu nggak sembuh.

Hana tersenyum membaca pesan dari Rini. Teringat obrolan mereka tadi pagi mengenai kemiripan Ervan yang sedang tersenyum dibalik bingkaian pigura dengan Diana.

Tak butuh waktu lama mengenalinya, sebab Ervan bagaikan pinang dibelah dua dengan ibunya. Gen dari Wijaya hanya bibir tipis Ervan yang menguarkan efek manis ketika si empunya melancarkan senyum.

Mengetahui itu, Rini segera menuju hotel tempat Ervan menginap setelah membuat bekal. Dia tidak membuatnya di rumah ibunya, bisa-bisa dia dijewer karena masih peduli pada lelaki yang memutuskannya hanya lewat panggilan telepon.

Heni memang tak percaya bahwa Rini bisa move on dari Ervan, namun dia juga akan sebal jika tahu Rini masih menemui Ervan setelah dibuat menangis seperti malam itu.

Beralih pada kegiatan Hana hari ini, setelah sedari tadi berdiri, dia berpindah duduk sebentar di atas tumpukan kardus di dekat pintu gudang untuk mengatur napas dan membalas chat. Suhu tubuhnya masih belum normal kendati sudah membaik daripada kemarin siang. Obat yang diresepkan dokter manjur sekali.

Tadi malam kawannya itu ikut menemani di rumah Heni. Ternyata Rini pun juga sudah tahu kebenaran kematian ibunya. Heni yang memberitahu saat mereka baru masuk SMA, meminta anaknya untuk sebisa mungkin mencegah siapapun di sekolah mengungkap fakta pada Hana, jaga-jaga barangkali ada yang tahu.

Padahal Rini juga yatim, seperti dirinya yang piatu, namun dia selalu ada di sisinya tanpa pamrih. Dia jadi bertambah sayang pada sahabatnya itu. Hana berjanji akan lebih banyak berbuat baik pada Rini.

Setelah membalas pesan Rini dengan daftar empat menu favoritnya di Nuansa (spageti carbonara, nutella toast, ayam goreng saus bulgogi dan lemon tea), Hana kembali berdiri, melanjutkan kegiatannya mencari jurnal-jurnal ibunya di tumpukan kardus lama. Dia tergelak lagi sejenak ketika ponselnya berdenting ringan dan menampakkan balasan berupa emotikon gelengan kepala beserta dua baris kalimat:

Udah sembuh, ini anak. Selera makannya udah balik lagi.

“Justru biar cepat pulih, Rini sayang. Biar besok aku bisa nge-date,” kekehnya pelan. Kali ini dia sungguh-sungguh memasukkan ponselnya ke saku celana, mulai menyelesaikan agendanya. 

Setelah hampir setengah jam mencari, buku-buku dengan sampul polos berwarna-warni itu ada di tangan Hana.

Semuanya berjumlah lima, ditulis sejak tahun 1991, dua tahun sebelum Hana lahir. Di setiap lembar paling awal, tertera nama sang pemilik dengan huruf tegak bersambung.

Hana memutuskan membawa semua jurnal itu ke ruang tamu, berniat membaca dengan iringan musik menenangkan. Dia terlebih dulu merebahkan diri di sofa dan mengatur napasnya yang ngos-ngosan lagi.

Seraya menatap langit-langit rumah, pikirannya berkelana menebak-nebak kebenaran apa yang akan dia temukan di jurnal ibunya.

Lihat selengkapnya