“Sepertinya, kunci jawaban dari semua ini adalah om Andi, Na. Menurutku, kamu harus ke London untuk memvalidasi keterangan bu Diana.”
Hana mengangguk mengamini, jarinya menggurat sinar jingga matahari sore yang menelusup dari kisi-kisi tirai dan mampir di sofa tempat mereka mengobrol. Dia butuh second opinion dan Rini adalah tempat terbaiknya. Kawan terdekat sekaligus yang paling mengenal keluarganya.
“Menurutku juga gitu, Rin,” ucap Hana. “Yang pasti sekarang hanya tentang perselingkuhan ayah.”
Rini mengiyakan. “Perselingkuhan itu benar, tapi kejadian setelahnya baru terungkap setelah beliau bicara,” Rini lanjut berteori. “Hmm, penyelidikan polisi itu menurutku ada yang kurang, dan om Andi-lah yang kelihatannya membayar mereka untuk memalsukan dokumen. Makanya, pernyataan forensik dalam dokumen kepolisian yang diperoleh kak Arya itu lurus-lurus saja menyatakan itu bunuh diri.”
Pagi ini dalam perjalanan pulang setelah menginap semalam di rumah Heni, Hana mengirim pesan pada Arya bahwa dia membutuhkan foto atau tangkapan layar laporan penyelidikan kepolisian yang diperoleh Arya ketika mencari tahu tentang Hana.
Satu bundel file yang kesimpulan forensiknya hanya menyimpulkan ‘penyumbatan saluran napas akibat gantung diri' tanpa keterangan lebih lanjut tentang detailnya. Polisi juga cepat sekali menyimpulkannya sebagai bunuh diri, hanya terhitung dua hari, sebab mereka menulis bahwa ada bukti surat wasiat yang berbunyi,
Suamiku, aku telah mengkhianatimu dengan berbuat serong dengan lelaki lain. Aku minta maaf atas itu, aku tak pantas hidup. Pergilah jauh agar aku tak bisa melihatmu, sebab aku terlalu malu menghadapimu yang selama ini sudah sangat bertanggung jawab atas anak-anak kita. PM.
Tulisan tangan itu memang mirip dengan yang dilihat Hana di jurnal ibunya, namun gaya bahasanya sungguh berbeda. Maka dari itu, Rini dan Hana juga bingung, tak menemukan kesimpulan tentang fakta pembunuhan. Banyak yang masih jadi misteri dalam peristiwa ini.
“Oh, iya,” ucap Rini seolah baru mengingat sesuatu. “Kalau nggak salah ingat, aku memang pernah dengar ayah bilang pada ibu di ruang tamu. Dia seperti sedang berhadapan dengan seseorang berkepentingan dan berpengaruh kuat, sebab sulit sekali bagi beliau yang hakim sekalipun, untuk mendapat laporan asli dari forensik. Makanya ayah menyerah menulusuri lebih jauh karena kesulitan waktu dan biaya. Waktu itu, perusahaan ekspedisi om masih gede, ‘kan, ya?”
Hana mengangguk lagi. “Kalau logikanya begitu, semua benangnya memang jadi tersambung, Rin. Apa kira-kira kebakaran perusahaan kakek juga ayah dalangnya, ya?”
“Kalau itu, nggak tahu.”
Hana menghela napas lelah. Fisiknya belum prima, hatinya apalagi. Rasanya lebih lelah daripada berdiri lima jam kerja di Putera Bakery.
Sementara itu, Rini membaca kembali tulisan di jurnal kelima itu.
“Sepertinya aku tahu kenapa kesanmu pada om sebelum kejadian ini tak berubah, Na,” Rini menjeda kalimat, mengetuk-ketuk pinggiran kertas jurnal yang tebal.
“Tante berperan besar menutup rapat-rapat persoalan mereka berdua, agar kamu dan Chandra tetap menghormati om. Lihat betapa kuatnya kata-kata ‘aku tak akan pernah mempertaruhkan pernikahan kami sampai kapanpun’ ini,” Rini mengembalikan jurnal itu ke pangkuan Hana. “Dia sungguh perempuan terhormat.”
Hana tersenyum miris. “Tapi karena itu pula, dia meninggal, Rin. Untuk apa mempertahankan rumah tangga yang sudah terancam badai kalau pada akhirnya nyawa taruhannya? Lebih baik dia melepaskan ayah saja saat itu dan hidup bahagia bersama kami.”
“Na, bagi seorang ibu, anak-anak mereka adalah hal paling utama. Mereka bahkan bersedia mengorbankan impian serta masa muda demi beralih mendidik anaknya menjadi orang berguna,” Rini menggenggam tangan Hana. “Menurutku, itulah yang diinginkan Tante. Dia tak menginginkan anak-anaknya kehilangan figur bapak.”
Untuk apa tujuan itu kalau modelnya pengkhianat seperti ayah. Jika saja dia sudah besar dan mengerti permasalahan mereka saat tahun 2005, dia pasti akan menyuruh ibunya bercerai alih-alih bertahan dalam hubungan toksik.
“Kamu pasti sedang membenci ayahmu, ya, Na?” tanya Rini, memerhatikan gejolak pikiran Hana lewat wajahnya. Hana tak menginterupsi, sebab pertanyaan Rini benar. Dia mulai tak menyukai ayahnya.
“Kayaknya London benar-benar harus disinggahi, agar kamu bisa mendengar versi cerita lainnya dari om,” Rini tersenyum maklum, mengelus lengan Hana. “Tabunganmu udah cukup? Kalau belum, kubantu gimana?”
Hana segera menggeleng. “Aku butuh dua bulan lagi, dan seharusnya itu bisa meng-cover biaya. Makasih, ya, Rin, tawarannya.”