Unmeasured Bread

zeytanzil
Chapter #35

Tentang Tujuan Setelah Ini

Diana menatap e-tiket, paspor dan tangan kanan yang menggenggam dua benda itu sekaligus. Tarikan napasnya terasa berat ketika mengingat tangan yang berangsur keriput tanpa cincin kawin ini telah menyakiti putranya.

Satu-satunya anak yang bisa dia miliki. Sebab dengan Andi, dia tak dapat memperoleh satu keturunan pun.

Mungkin itu yang disebut sebagai karma buruk. Balasan yang harus dia terima sebab telah melukai hati banyak orang. Wijaya, Ervan, istri Andi, dan...Hana.

Nama terakhir ternyata membuat dirinya diserbu perasaan bersalah berkali-kali lipat lebih banyak dari orang lain.

Jika anda memang merasa bersalah, seharusnya anda tak mengungkap fakta ini. Seharusnya anda mengingat rasa itu, memendamnya dalam-dalam, sebab karena anda, satu keluarga bahagia telah anda hancurkan.  

Dia bahkan tak dapat membantah dan menyombongkan diri sebagaimana sikapnya dulu ketika bertemu istri Andi.

Kata-kata Hana sangat benar, seketika memalu godam dan mencabik-cabik hati serta harga dirinya. Untuk pertama kalinya sejak berselingkuh selama 12 tahun, dia merasa malu. Maka dari itu, dia langsung minggat dari rumah lama gadis itu tanpa berkata apa-apa.

Wanita yang sebentar lagi berusia 49 tahun itu menghela napas panjang. Tatapan matanya mengitari pelataran bandara Juanda yang ramai dan langit pagi yang mendung. Pikirannya meloncat lagi memikirkan hal lain yang sama gelapnya seperti cakrawala.  

Setelah menyelesaikan misinya menemui Hana di Malang, dia dilanda satu pertanyaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Lepas menuntaskan tujuan kepulangannya ke Indonesia, kemana dia akan pergi?

Kemarin, seharian dia mengitari kota Malang. Hanya berjalan-jalan menelusuri sudut-sudut kota yang sudah banyak berbenah sejak puluhan tahun dia pergi. Makan spageti bolognese di restoran Italia lainnya, berkunjung sejenak ke alun-alun kota Batu tempat Wijaya melamarnya. Lalu mampir di rumah bertingkat dua di Griya Amaris yang kini sudah berganti pemilik.

Bicara tentang pertemuan mereka, itu terjadi di sebuah pameran kesenian.

Wijaya yang masih merintis karir sebagai pelukis sedang mencari inspirasi dengan datang ke pameran. Sedangkan Diana yang berprofesi sebagai model senior di sebuah agensi, iseng mengikuti temannya yang ingin sekali pergi ke event itu.

Wijaya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia berusaha mendekati Diana dengan menciptakan pertemuan demi pertemuan, yang kalau di novel atau film romantis dikatakan sebagai takdir. Tidak, Wijaya menciptakan takdir itu sendiri.

Hingga di malam kesekian Diana menyetujui permintaan makan malam, Wijaya mengutarakan niat ingin menikahinya. Saat itu, Diana tak berpikir panjang untuk tidak mengiyakan lamaran Wijaya, kendati sesungguhnya dia tidak benar-benar mencintai pria itu. Wijaya pria baik, dan Diana sudah membutuhkan pendamping hidup.

Dia meyakini pepatah Jawa, bahwa cinta akan datang seiring seringnya pertemuan.

Tapi rupanya, cinta itu tidak hadir meski Diana sudah berusaha. Bahkan setelah Ervan lahir, dia tetap merasa kosong. Tangki cintanya justru terisi oleh Andi. Pria berwajah biasa itu menawarkan perasaan yang tak bisa dia miliki bersama Wijaya.

Ada satu hal yang tak bisa dipahami oleh Wijaya dalam mencintainya. Wijaya datang dari keluarga utuh dan bahagia, sedangkan Diana tumbuh besar di panti asuhan. Wijaya tidak bisa memerhatikan hal-hal sepele yang justru penting menurut Diana.

Lihat selengkapnya