Unmeasured Bread

zeytanzil
Chapter #39

Arah Busur

Ya, Kak. Kenapa telepon? Mau bicara dengan Hana? Dia lagi tidur, tapi.

Nggak, aku mau ngomong sama kamu.

Oh ya? Apa?

Pernyataanmu tiga bulan lalu apa masih berlaku? Kalau iya, pacaranlah denganku.

***

Thank you, Ren,” Rini berucap ramah pada Rendy, pemilik kedai Nuansa sekaligus kawan dekatnya di komunitas barista, yang malam ini mengantarkan sendiri pesanan dua gelas Mango Squash ke meja Rini.

Gadis itu tahu, Rendy bukan ingin menyapanya, tapi penasaran dengan sosok laki-laki asing yang duduk di seberang kursinya.

Terbukti, Rendy mengedipkan mata, bertanya lewat tatapan.

Pacar?

Rini mengangguk kilat sebagai jawaban. Mata Rendy membulat. Yang di Aussie-Aussie itu?

Rini menggerak-gerakkan bibir, mengiyakan sekaligus menyuruh Rendy untuk bersegera menyingkir. Pria bercambang tipis itu beranjak dua detik kemudian setelah selesai meletakkan sedotan stainless kedua di samping gelas Rini. Meninggalkan koleganya dengan laki-laki rupawan berhidung bangir yang sedari tadi tampak ingin memulai obrolan.

“Pertengahan Februari aku dapat kabar dari detektif sewaanku.” Ervan mulai mengungkap latar belakang bernama alasan dibalik pemutusan sepihaknya terhadap Rini. Diluar dugaan, pria itu berucap tenang, seolah kata-katanya telah dicatat rapi dan dihafal.

“Setelah 6 bulan terakhir melacak data kependudukan, meneliti rekaman CCTV yang terbatas, bertanya pada banyak kenalan dan menelusuri semua dokumen berusia 12 tahun, mereka mengabariku bahwa ada kemungkinan ibuku kabur ke luar negeri bersama seorang laki-laki.”

Om Andi. Rini membatin dalam hati.

Ervan menghela napas sejenak.

“Kamu tahu, Rin? Aku nggak pernah menceritakannya padamu karena ini rahasia dan aib keluarga. Aku dan papa sudah sejak lama punya dugaan mama berselingkuh. Jika ditelusuri lebih jauh, aku sebenarnya telah menduga, tidak, sebenarnya aku meyakini bahwa alasan kaburnya mama adalah karena dia menemukan orang lain yang lebih membuat kebutuhannya terpenuhi. Kabar kedua dari detektif awal April yang bilang bahwa mama ada di Malang hanya mengonfirmasi saja. Bukti pendukung yang menguatkan praduga yang kuyakini.”

“Lalu, apa kakak jadi mencemaskanku atau khawatir aku tidak akan menerima kakak lagi, begitu?”

“Tidak,” ucap Ervan tegas. “Aku tahu kamu nggak akan mempermasalahkan itu.”

“Lantas?”

“Kamu masih ingat momen wisudaku tahun 2010?”

“Tentu,” Rini mengangguk menyilangkan kaki. “Itu kejadian penting karena aku menyatakan perasaan, meski aku sebenarnya aku tahu kak Ervan diam-diam menyukai Hana. Sekaligus yang membuatku bingung mengapa tiga bulan kemudian kak Ervan mengajakku berkencan.”

Aku suka kakak.

Apa?

Aku mengatakan ini bukan untuk disukai balik, tapi agar aku nggak menyesal karena nggak pernah bilang sementara kak Ervan akan pergi jauh ke Australia. Oh ya, kalau kak Ervan nggak punya perasaan yang sama, setelah ini jangan jadi menjauh, ya, Kak. Tolong lupakan momen ini, anggap aja nggak pernah terjadi. Aku benar-benar mengatakannya hanya karena aku nggak mau menyesal. Sudah ya, Kak, ini buket bunga hadiah wisudanya, aku pergi dulu. Aku malu.

“Begitupun denganku, wisuda SMA adalah salah satu peristiwa penting,” Ervan berkata lagi. “Di acara itu, ketika menerima piala penghargaan siswa berprestasi bersama Arya di atas panggung, aku akhirnya menyadari bahwa perasaanku lenyap bahkan sebelum aku sempat memulai, sebelum aku membangun pondasi.”

“Kami sama-sama menggenggam tropi prestisius itu, bahkan aku lebih keras belajar agar mendapat beasiswa daripada Arya yang memang diberkahi dengan kecerdasan, tapi binar ketertarikan di mata Hana hanya tertuju pada Arya sepanjang acara.”

“Mungkin saat itu dia nggak sadar, tapi aku langsung tahu bahwa aku nggak akan punya kesempatan sekalipun. Aku yang ada di sisinya dua tahun terakhir, banyak membantunya, tidak lebih dari seorang senior baik hati yang dia sayangi. Aku nggak bisa menembus batas itu.”

“Itu alasanku meminta putus darimu,” Ervan menatap Rini yang masih menyimak dengan sabar. “Kamu bilang kamu tahu bahwa aku menyukai Hana. Itu benar. Dua orang pria dan wanita tanpa hubungan darah, dekat selama dua tahun, tak mungkin salah satu dari keduanya tak jatuh hati pada yang lain. Dalam hubunganku dengan Hana, akulah yang menyukainya.”

“Lantas kamu hadir seperti lentera. Sinarmu yang sebelumnya redup karena terhalang bayangan Hana, mulai menarik perhatianku setelah kamu menyatakan perasaan. Pertama kali tinggal di tempat asing, jauh dari orang tua, telepon-telepon dan chat darimu—yang kembali bersikap biasa meski awalnya canggung—, lama-lama membuat arah busurku berubah, Rin.”

“Kamu menawarkan kenyamanan, itu yang kutahu,” ujar Ervan, memain-mainkan sedotan stainless nya.

“Dan karena nyaman, kakak akhirnya memintaku berpacaran dengan tujuan awal menghilangkan kehampaaan setelah patah hati karena Hana?”

Lihat selengkapnya