Unmeasured Bread

zeytanzil
Chapter #41

Persiapan (2)

Persiapan terakhir adalah yang paling penting bagi Arya.

“Mama orang yang keibuan sekaligus keras kepala. Dia teguh, kuat dan disiplin. Kalau sudah menetapkan keputusan, nggak akan goyah meski diomongin sana-sini. Sifat turunan dari almarhum kakek yang katanya pensiunan tentara.

“Aku ingat pernah merusak satu set pensil gambar Chandra, padahal papa sudah membelikan juga untukku. Chandra menangis keras dan mama menggiringku ke kamar. Dengan wajah tegas dia bertanya alasanku melakukan itu. Aku jawab bahwa Chandra tak membolehkanku meminjam, padahal aku juga ingin memakai pensilnya. Aku lupa kalimat persisnya, tapi mama mengajarkanku tentang konsekuensi pilihan dan penerimaan saat itu. Aku sudah memilih set pensil dengan kehendakku sendiri, jadi akulah yang bertanggung jawab atas pilihanku, bagaimanapun keadaan setelahnya, suka atau tidak suka dengan konsekuensi yang datang sesudah pilihan tersebut.”

“Meski tegas begitu, mama juga jadi garda terdepan kalau aku atau Chandra dirundung oleh teman. Mama bahkan pernah melaporkan wali murid ke polisi gara-gara Chandra pernah pulang menangis dari Playgroup dengan tubuh lebam. Ternyata anak si wali itu memukul Chandra dengan batang kayu bersama teman-temannya hanya gara-gara iri dengan bakat melukisnya. Kalau bukan anak kecil, betulan sampai dipenjara kayaknya. Orang tuanya juga tiap hari datang ke rumah, memohon berkali-kali sambil menangis. Mama akhirnya menarik tuntutan karena nggak mau diganggu terus-terusan. Orang tuaku juga akhirnya memindahkan Chandra ke sekolah lain dan memeriksakannya ke psikiater anak, khawatir trauma.”

“Nah, ini dia, Ar. Mamaku, dan di sebelahnya adalah Chandra,” Hana menyudahi cerita yang dia kisahkan sejak berangkat dari rumah. Arya berkata ingin tahu lebih detail soal ibunya, berkata bahwa dia penasaran tentang sosok perempuan dibalik sifat pemberani Hana.

Arya menggeser tubuh hingga berada di sisi Hana. Dua makam yang tampak lama tapi terawat. Di kepala kedua nisan diukir nama kedua orang yang bersemayam.

Pramesti Mayangsari. Chandra Ali Syahbana.

Arya menyatukan kedua tangan di depan tubuh, menundukkan kepala takzim, memejamkan mata.

Tante, saya Arya.

Arya Putra Pangestu, kekasih putri semata wayang Tante.

Sejak awal bertemu Hana, saya tahu bahwa ada perempuan hebat yang membantu ‘mempertemukan’ saya dengannya. Sudah lama saya ingin kemari. Ingin berterimakasih, sekaligus meminta izin untuk membersamai Hana lebih lama. Mungkin, hingga batas usia kami.

Sepoi angin sore yang sejuk, samar-samar meniupkan wangi kamboja. Arya tidak hanya membisikkan kata-kata yang selama ini sengaja dia simpan, namun dia juga seketika merindu ibunya. Sosok pendidik yang tak banyak kenangan tentangnya. Mama pergi saat Arya berusia empat karena kanker ovarium. Mangkat sebelum anak satu-satunya sempurna mengingat.

Mereka beranjak dari pekuburan beberapa saat kemudian setelah berdoa, menuju makam ibu Arya di tempat lain. Sebelum keluar area, Hana menyempatkan bertemu dengan bapak tua bertopi penjaga makam, memberi satu rantang makanan. Bapak itu tersenyum lebar berterima kasih, dia masih mengingat Hana meski sudah lama Hana tak kemari.

Saat itu, satu-dua kata yang tak asing tiba-tiba mampir di benak Arya.

Tentara dan Pramesti. Dimana dia pernah mendengar kombinasi ini?

“Ar, kok bengong? Ayo pergi, ntar nggak tepat waktu ke rumah bu Heni,” Hana menarik lengannya pelan, tersenyum berpamitan pada bapak penjaga makam. Tiga menit menuju parkiran terasa panjang karena Arya menggali ingatan dari 25 tahun hidupnya.

“Ah, papa!”

Ya, curhatan masa SMA itu. Dia yang menyukai Hana dan wajah penuh kenangan papa. 

“Apa, papa apa?” Hana menyeletuk di sebelahnya. “Kamu kayaknya dari tadi bengong, Ar. Mikirin apa, sih?”

“Na, ini random banget. Mama kamu dulu alumni kampus mana?”

Hana menyebut salah satu universitas terbaik di Malang. Demi mendengarnya, Arya mengembangkan senyum seperti mendapat jackpot. “Berarti benar. Pramesti yang itu,” gumamnya.

“Apa sih, kenapa?”

“Nggak, nggak apa-apa. Ayo buruan naik,” Arya menekan kunci mobil, membukakan pintu untuk Hana yang masih berwajah heran. Sependek langkahnya memutar ke kursi pengemudi, dia tersenyum lebar. Menatap Hana sejenak sebelum menyalakan mesin.

Lihat selengkapnya