Dua minggu kemudian. Awal Juni.
Mata Edo terbelalak demi membaca selembar kertas di tangannya.
“Na, demi apa? Wah, sejak kapan? Waaah,” Egi juga sama terkejutnya dengan Edo. Dia malah mencubit lengannya untuk memastikan nama Arya Putra Pangestu, pemilik Putera Bakery tempatnya bekerja itu benar adanya. Hana membantunya meniup bercak merah hasil cubitan.
Terhitung hanya sekian detik sejak dia membagikan undangan, Egi, Bela, Mita dan yang lainnya segera mengerubungi dengan wajah-wajah penasaran.
Pertanyaannya tentu saja sama dengan Egi. Tapi kini Hana sudah menyiapkan berbagai kata untuk menjawabnya. Dia sudah tidak khawatir lagi hubungannya dengan Arya dijadikan bahan godaan, cincin berlian di jarinya mentransmisikan kekuatan lebih.
“Kami teman SMA..” begitu kalimat pembuka cerita. Rekan-rekannya sudah duduk rapi di kursi-kursi pengunjung. Mumpung sudah hampir jam tutup kedai, mereka menyeret Hana tak sabar, ingin tahu awal mula hubungan, bagaimana kisahnya hingga mereka memutuskan menikah.
Di satu sisi, Edo ikut berdiri menyimak tanpa bicara. Pertanyaan dan rasa penasaran yang selama ini dia tahan di benak, sekarang menemukan muaranya. Maka ketika ‘perkumpulan’ itu usai dan semua staf beranjak pulang, dia menyetir sepanjang jalan pulang dengan membawa sudut hati yang kosong.
Apa sudah waktunya dia move on?
***
“Satu Kiwi Ade dan satu Hazelnut Latte. Tidak spesial buat bestie, Hana Humaira,” Rini menjawil pipi Hana, memanyunkan bibir pura-pura mengejek. Aroma kopi menguar ke seluruh penjuru kafe. Hana selalu senang berada disini dan Putera Bakery. Aroma-aroma lezat sekaligus menenangkan, baginya yang menyukai makanan.
Hana mengambil keranjang kertas berisi gelas plastik, balas mencubit pipi Rini dengan gerakan kilat. Dia berseru ‘selamat bertemu lagi di rumah' seiring langkahnya ke luar kafe Delta menuju mobil Arya yang diparkir di luar gang. Mereka akan pergi ke Griya Natalia.
Rumah bertingkat dua itu lengang ketika sejoli tersebut tiba. Bibi yang biasa bertugas Arya suruh untuk libur. Hari ini mereka mau menikmati momen berdua saja.
“Papa udah sampe belum, Ar?” Hana menuju dapur begitu masuk. Dia meletakkan kantong belanja berisi bahan-bahan kue tart di kitchen island. Hana jadi ingat, pertama kali kemari mengantarkan pesanan, tempat inilah yang pertama kali menyita perhatian karena dia terkejut Aditya berdiri disini.
“Harusnya sih, udah. Belum telepon tapi, tuh,” Arya membantu Hana mengeluarkan belanjaan dan mengambilkan alat-alat yang dibutuhkan. Hari ini mereka merayakan ulang tahunnya yang terlupa setengah bulan karena persiapan pernikahan. Hana berkata ingin membuatkan kue tart spesial buatan sendiri, kompensasi atas telatnya perayaan.
Arya tidak menyukai kue tertentu, dia bahkan tak punya makanan kesukaan. Tapi Hana ingin membuat Triple Choco-Nut, produk favorit pelanggan untuk momen ulang tahun di Putera Bakery. Kue tart tiga susun berlapis whipped cream cokelat-selai kacang, difrosting dengan ganache dari potongan cokelat premium, lantas diberi topping parutan cokelat dan cacahan campuran kacang mede, walnut serta kacang hazel.
Bahkan Hana yang tak terlalu menyukai cokelat berkata, kue ini adalah a piece of heaven.
“Gimana, Na? Benar begini?” tanya Arya, dua tangannya sibuk mengoleskan whipped cream di atas bolu bulat datar sembari mengendalikan roda putar agar lapisannya rata. Setelah hanya melihat-lihat Hana berjibaku dengan bahan-bahan, dia mengajukan diri membantu. Tertarik menghias bolu cokelat yang sedari tadi menguarkan aroma lezat dan membuat raut wajah kekasihnya itu berbinar-binar.
“Iya, terusin aja,” Hana yang sedang membuat ganache di sebelahnya menoleh sebentar.