Unmeasured Bread

zeytanzil
Chapter #43

Berita dari 23 Tahun Lalu

“Siapa katamu?”

***

Hari ketiga Aditya di Jepang, sekaligus hari kepulangannya ke Indonesia. Perannya sebagai perwakilan resmi sudah usai, urusan selain penelitian di Jepang akan digantikan oleh manajer yang juga ikut bersamanya kemarin.

Aditya memesan tiket pesawat untuk perjalanan malam. Tadi pagi dia checkout dari hotel tempatnya menginap, lantas bertolak menuju alamat yang diberikan Wijaya. Dia akan menuju bandara dari kediaman sahabat karibnya itu. 

Apartemen Wijaya di Tokyo cukup luas untuk ditempati satu orang. Dalam sambungan telepon pertama setelah pindah ke Jepang, Wijaya berkata agensi yang memintanya bekerja samalah yang menyiapkan tempat tinggal. Mereka juga mempunyai studio yang bebas digunakan tak jauh dari apartemen. Saat itu, Aditya menimpalinya dengan candaan bahwa Wijaya betah di Jepang karena tidak perlu mengkhawatirkan apapun untuk melukis. 

Bicara tentang hubungan kedua bapak ini, mereka adalah kawan karib satu kelas saat SMA. Lepas lulus dan kuliah di kota berbeda, Aditya dan Wijaya hilang kontak, meski masing-masing masih mendengar selentingan-selentingan kabar dari teman-teman lainnya. Mereka bertatap muka lagi di salah satu pertemuan wali murid SMA 32, lantas sering janjian bertemu hingga kini.

Setelah 10 menit menaiki kereta bawah tanah dan tujuh menit berjalan kaki, Aditya tiba di sebuah bangunan tinggi bernuansa cokelat muda, yang jendela-jendelanya berbaris rapi dilihat dari luar. Wijaya membuka pintu menyambut kedatangannya dengan tersenyum lebar, bilang bahwa mudah sekali bagi Aditya menemuinya di Jepang.

Sahabatnya itu terlihat sehat. Tapi Aditya tahu Wijaya menyembunyikan sesuatu. Apartemennya berantakan, tidak seperti Wijaya yang selalu rapi. Dan yang terpenting, ada lukisan tak rampung di salah satu sudut ruangan yang catnya sudah hampir terkelupas saking keringnya.

Pada akhirnya Wijaya bercerita setelah ditanya. Dia mendapat kabar dari Ervan tentang keberadaan mantan istrinya--yang Aditya ketahui menghilang ketika Ervan menjelang usia 13--. Putranya itu meminta maaf karena tidak memberitahu lebih awal bahwa dia menyewa detektif diam-diam. Wijaya sebetulnya sudah tak mengharapkan apa-apa, toh dia telah memutuskan melupakan Diana. Tapi fakta yang diberitahu Ervan tak urung juga membuatnya terhenyak hingga tak berselera makan. 

“Yang membuatku sakit hati, Aditya, bukan kenyataan bahwa dia memang bersama dengan lelaki lain, yah karena sejak dulu aku sudah punya dugaan begitu,” ucap Wijaya dengan pandangan menerawang. Mereka berdua duduk mengobrol di ruang tamu setelah meminum teh. “Tapi Diana justru berselingkuh dengan bapak Hana, teman Ervan yang kuanggap seperti anak sendiri, diketahui ibunya pula.”

Dia menghela napas panjang. “Bagaimana aku akan menghadapinya?”

Aditya menyandarkan tubuh pada kursi, juga tak percaya apa yang didengarnya.

Dia hanya tahu sekilas dari cerita Arya bahwa calon menantunya itu kehilangan kedua orang tua sejak usia muda. Ibunya meninggal dan ayahnya menghilang. Maka dari itu, dia berusaha memberi kasih sayang seorang ayah pada Hana.

“Jadi peristiwa itu terjadi sebelum ibu Hana wafat?”

“Sepertinya begitu.”

“Kalau ayahnya sudah ketahuan kabarnya begini, berarti kami harus menemuinya untuk meminta restu.”

“Hana akan menikah? Dengan siapa?”

Lihat selengkapnya