Aditya termenung lama, menatap bunga-bunga bulat pohon akasia yang mulai menguning dari balik kaca kafe.
Tadi pagi lepas Arya berangkat ke kantor dan rumah sudah sepi, sang notaris datang bertamu. Bukan yang Aditya hubungi tadi malam—setelah memastikan berkas miliknya di brankas—, tapi asisten dari notaris utama yang mengurus dokumen milik Pramesti sekaligus salah satu saksi hidup 23 tahun lalu. Pria bertubuh pendek agak tambun berusia akhir 50-an bernama Hamid, salah satu staf senior di firma hukum Pangestu yang akan pensiun tahun depan. Dia datang langsung, menyampaikan amanah Jaka—sang notaris utama—sebelum wafat 5 tahun lalu.
Jaka sudah pensiun cukup lama dari firma hukum Pangestu, Aditya juga datang ke pemakamannya, tapi dia baru tahu bahwa Jaka menginstruksikan Hamid secara khusus untuk menjaga dokumen itu. Pantas saja staf yang dia hubungi tidak tahu banyak tentang berkas berusia puluhan tahun.
“Pak Jaka bilang, dokumen ini sangat rahasia, jadi tidak semua orang bisa mengakses. Hanya saya yang diberi wewenang oleh beliau,” Hamid mengangsurkan amplop berisi dokumen yang dimaksud.
Sekarang Aditya baru ingat, sebelum pensiun, Jaka datang ke ruangannya dan menyampaikan persis seperti yang diucapkan Hamid. Dia bisa saja lebih cepat tahu jika mengingatnya kemarin.
“Matanya sangat mirip dengan bu Pramesti, Pak. Saya sangat ingat karena baru kali itu saya melihat perempuan dengan manik mata cokelat seindah beliau. Gadis di foto tersebut tidak memiliki warna manik mata yang senada, tapi sama menawannya seperti milik bu Pramesti.”
Itu ucapan Hamid ketika Aditya tiba-tiba punya ide memperlihatkan salah satu potret Hana di ponselnya yang diambil ketika makan malam bersama beberapa minggu lalu. Kalau Hamid ada bersama Jaka, barangkali dia sedikit mengingat rupa Pramesti.
Bahkan dengan kualitas foto yang tak terlalu cerah itu, Hamid langsung mengenali keduanya. Aditya ingat dirinya tersenyum sedih, mengantongi ponselnya lagi. Ingatannya ternyata sudah terdistorsi oleh usia. “Bahkan Anda yang hanya mengenalnya sepintas lalu, bisa ingat sedemikian detail."
Saya bahkan dekat bertahun-tahun, tapi tak langsung bisa mengenali wujud Pramesti pada Hana.
“Pa!”
Aditya menolehkan kepala. Arya melambaikan tangan dari pintu kafe dengan wajah cerah, Hana menyusul di belakang. Raut wajah gadis itu entah mengapa terlihat mendung. Senyum ramahnya ketika menyapa Aditya terasa dipaksakan.
Mereka duduk berhadapan di dekat jendela. Siang seperti ini biasanya kafe-kafe ramai oleh karyawan yang beristirahat atau anak kuliahan yang mengerjakan tugas, tapi disini relatif sepi. Mungkin karena letaknya agak tersembunyi.
“Jadi, papa mau ngomongin apa sampai ngajak ketemuan di kafe? Biasanya kita ke rumah aja kalau mau bicara,” tanya Arya, meneguk Latte-nya yang baru tiba. “Jangan-jangan benar ya, aku mau punya mama baru?” menyipitkan mata menilik papanya.
Sesaat, Aditya tampak ragu. Tapi dia sudah memutuskan menemui Arya dan Hana di kafe asing ini—agar momen menyakitkan sekarang tak terulang berkali-kali jika di tempat familiar mereka—, dia tak bisa mundur lagi. Dibayangi kesedihan yang samar, Aditya mengangsurkan dokumen yang dibawanya dari dalam tas.
“Bacalah, Nak. Ini bukan soal papa, tapi tentang kalian.”