Butuh satu minggu untuk Hana dan Arya bertemu lagi membicarakan keputusan mereka ke depannya. Taman kota dekat rumah Hana sore itu tak terlalu riuh, hanya beberapa orang warga perumahan sekitar yang bersantai.
“Kita putus saja, Ar. Itu yang sudah seharusnya dilakukan,” Hana berkata lugas, selang sepuluh menit setelah mereka hanya duduk diam-diaman.
“Nggak, kita kawin lari saja. Na, semua dokumen itu bullshit. Memangnya kamu pernah dengar saudara sesusuan nggak boleh menikah? Nggak ada ketentuan seperti itu, Na.”
Hana menghela napas. “Benar Ar, kita nggak tahu. Tapi karena di luar pengetahuan kita, bukan berarti itu salah. Aku bertanya pada bu Heni setelah membaca diary mama, beberapa hari kemarin aku juga datang pada guru agama sekolah kita yang dulu konsultan ROHIS. Mereka semua bilang hal yang sama. Pernikahan kita nggak bisa dilanjutkan.”
“Papa juga bilang begitu ketika kutanya lagi. Tapi nggak mungkin, Na,” Arya masih bersikukuh.
“Kamu yang lebih kenal papa daripada aku, Ar. Sebelum menyampaikan hal besar dan menyakitkan begini, beliau pasti sudah memastikan semuanya,” Hana menelan ludah. “Nggak ada keputusan yang lebih baik selain kita mengakhiri hubungan kita disini.”
Arya tiba-tiba menoleh tajam. “Na, kamu sedari tadi meminta putus. Jangan-jangan kamu memang sudah menyerah padaku? Perasaanmu padaku sudah hilang, kan?”