Edo baru tiba di toko ketika para staf membubarkan diri melihat atasan mereka datang. Pasti bergosip lagi, batinnya. Meski sudah terbiasa dengan pemandangan itu setiap hari, dia tak urung berdecak heran. Sebab ada saja yang jadi bahan perbincangan mereka.
Ketika dia masuk dapur untuk mengecek kegiatan divisi utama yang sudah harus bekerja sejak pagi itu, Egi mengikuti langkahnya seperti bebek hendak berbaris, tampak ingin mengatakan sesuatu.
“Mau ngomong apa, Gi? Cepat katakan, atau aku akan menginjak kakimu,” ucap Edo ringan seperti bernyanyi, sambil sorot mata dan tangannya sibuk mengecek kualitas roti-roti tawar hangat yang masih panas belum dikeluarkan dari loyang dengan sarung tangan tebal.
“Pak, bagaimana kalau kita mengadakan pesta atau makan malam bersama?” Egi akhirnya menyuarakan isi kepala.
“Tiba-tiba? Ada yang lagi ulang tahun?”
Kali ini Egi mencondongkan kepala ke dekat telinga Edo, mengecilkan suaranya hingga nyaris berbisik. “Bapak belum dengar? Pernikahan pak Arya dibatalkan.”
Gerakan tangan Edo terhenti. Dia melepas sarung tangan dan mengajak Egi keluar dapur, meminta staf sekaligus junior almamaternya itu melanjutkan informasi.
“Semua katering, sewa gaun, dekorasi, semuanya di-cancel dua hari lalu. Bela dapat kabar dari kenalannya, orang dalam kantor pusat Pangestu. Makanya kami berdiskusi gimana caranya menghibur Hana. Pasti berat buat dia, padahal tinggal sebulan lagi,” suara Egi berubah lesu.
“Alasan batalnya apa?”
Egi menggeleng. Negatif. “Nggak ada bocoran, Pak. Dari awal, pesta pernikahannya ‘kan memang berencana privat, nggak megah macam anak tunggal pengusaha biasanya. Kayaknya Hana atau pak Arya nggak suka publikasi, jadi proses maupun alasan batalnya sekarang juga hanya jadi rahasia keluarga. Para eksekutif kantor utama aja nggak ada yang tahu. Pak Edo ‘kan dekat dengan pak Aditya. Nggak tahu juga?”
“Ya kamu bilang tadi kalau itu rahasia keluarga, Gi.”
“Iya juga, sih.”
Bersamaan dengan itu, pintu utama kedai terbuka. Hana tiba, menyapa rekan-rekannya riang—atau begitu kelihatannya. Hari ini hari Jumat, sebetulnya gadis itu piket sore seperti jadwalnya selama ini. Tapi, kemarin Angga ingin tukar shift karena mendadak diajak dosennya ke luar kota dan baru akan tiba di Malang lepas zuhur. Hana menyalonkan diri, berkata di grup bahwa dia sudah bebas dari jadwal resmi mahasiswa di pagi hari.