Unmeasured Bread

zeytanzil
Chapter #47

Peran Pembalut Luka

Orang-orang yang sedari tadi menonton, satu per satu menyingkir dari kerumunan. Beberapa dari mereka yang (ternyata) menelepon polisi, membatalkan sambungan telepon. Berbisik, syukurlah sudah ada yang mencegah gadis itu untuk melompat.

Hana mengerjap, bingung dengan situasi yang baru dialaminya. Tiba-tiba saja seseorang menariknya hingga bergulingan di rerumputan. Satu hal pula, dia terkejut saat mendapati dirinya berada dalam rengkuhan orang yang tidak asing ini.

Edo sudah berada di hadapannya.

“Kamu baik-baik saja, Na?”

Hana mengernyit, mengurai lengan Edo yang masih melingkupi pundak dan kepalanya, beranjak duduk.

“Mas Edo...kok bisa disini? Ada apa?”

Pertanyaan yang tidak dijawab oleh Edo. Pria itu menstabilkan tarikan nafas, sebelum meringis menyadari ada luka gores kecil di telapak tangannya.

“Kamu baik-baik saja, Na?”

Dia mengulang pertanyaannya lagi, kali ini menatap Hana khawatir. Sedari tadi, gadis ini tak menjawab pertanyaan yang diajukannya.

“Apa?” Hana justru bertanya balik, kali ini agak meninggikan suara. “Eh, sebentar, aku nggak dengar mas ngomong apa..” melepaskan earphone yang terpasang di kedua telinga.

Napas Edo tertahan. Tubuhnya yang sedari tadi kaku, perlahan melemas. Dia menatap Hana tak percaya, mendadak merasa konyol.

“Duh,” Hana tiba-tiba meraih tangan Edo, memperhatikan luka di telapak tangannya. “Mas Edo terluka, nih. Lagi ngapain sih, sampai narik-narik aku segala? Aku juga bisa turun sendiri kali, Mas.”

Edo menghela napas lagi, memerhatikan Hana yang sedang merawat lukanya dengan memasangkan lipatan tisu dan membalutkan saputangan yang dibawa gadis itu di dalam tasnya. Diam-diam Edo merasa lega, prasangkanya tidak tepat. Dia harusnya lebih memercayai Hana.

Dia memang berkata pada Egi untuk tidak berkata apa-apa jika Hana tak bercerita. Tapi sepanjang Hana bekerja tadi, Edo tak bisa untuk tak mengawasi gadis itu. Ketika Hana sedang membawa sekeranjang stroberi pesanan ke dapur dan melewati ruangannya, Edo yang sedari tadi mengintip, membuka pintu ruangan manajer dengan sengaja—yang diusahakan agar tampak tak sengaja. Dia lantas memindahkan keranjang itu ke tangannya, menyuruh Hana kembali ke depan, kendati gadis itu menolak, berkata bahwa keranjang itu tidak berat—dan memang tidak.

Edo juga tak bisa berkonsentrasi menyelesaikan dokumen-dokumen berbagai laporan. Dia hanya bisa bertahan paling lama 5 menit di depan komputer sebelum berdiri, memerhatikan Hana di balik etalase dari balik tirai jendela ruangan. Begitu berulang kali, sampai Egi yang berkali-kali terkejut melihat bayangan Edo—yang seperti hantu saat bolak-balik ke dapur—, memarahinya agar duduk tenang di kursi manajer seperti biasanya. Saking khawatir pada Hana, dia bahkan tak tersinggung lagi dengan fakta dia dimarahi oleh bawahannya sendiri.

Maka disitulah dia, terduduk di atas rerumputan tepi sungai dengan wajah setengah-cemas-setengah-merasa-lucu, setelah memutuskan mengikuti Hana yang (tumben) pulang dengan berjalan kaki.

“Kamu..ngapain tadi berdiri disana?” kali ini suara Edo melembut, memerhatikan gerakan tangan Hana yang sekarang mengikat simpul ringan saputangan melingkupi telapak tangannya.

“Tadi? Disana?”

Hana menoleh ke tempat dia berdiri tadi. “Oh, aku cuma nyari angin, Mas. Sejuk banget di dekat sungai itu. Pikiranku penuh,” Hana nyengir, berdecak "sudah" dan bilang bahwa Edo harus membersihkan lukanya lagi serta memasangkan plester yang layak setelah pulang ke rumah. Gadis itu kemudian memosisikan diri duduk bersila di samping Edo.

“Syukurlah, kalau begitu.”

Hana meneliti wajah atasannya itu. “Kenapa? Mas kira aku akan bunuh diri, begitu? Makanya dari tadi mas Edo membantuku mengepel, menggantikan tugasku di kasir saat aku ke toilet, bahkan mengikutiku pulang?”

Lihat selengkapnya