Dua hari kemudian, ketika London masih diselimuti kabut, tak diduga, Ervan dan Wijaya muncul dari balik pintu flat.
Hana sampai mengucek mata memastikan kedua orang yang sudah lama tak ditemuinya ini betulan ada di London. Duo anak dan bapak itu tergelak, bilang bahwa mereka bukan hantu, menghambur masuk flat dengan langkah riang.
Tak disangka pula, reuni keluarga Wijaya membuat suasana flat jadi cerah. Diana bahkan memeluk erat Wijaya seperti pasangan yang tak pernah mempunyai konflik. Mereka juga memasak sarapan bersama di dapur.
Seperti ada tombol loading besar di atas kepala Hana. Ervan mengajak gadis itu mengobrol di luar, beralasan akan membeli dessert di minimarket. Setelah membeli empat puding vanila dan dua es loli, keduanya menyeberang jalan, duduk di bangku panjang sebuah taman.
“Kamu kaget ya, Na? Ini sudah kunjungan kedua kami menjenguk mama.”
Hana menggigit es loli matcha-nya.
Dingin.
Dia sepertinya sudah terkena virus matcha-addictnya Diana, tadi tangannya otomatis mengambil es loli dengan rasa tersebut. Ervan memutuskan mengikutinya.
“Aku merasa kehilangan diriku, Kak.”
Ervan yang sedang membuka bungkus es lolinya menanggapi, “Apa yang membuatmu bilang begitu?”
“Aku marah pada ayah yang masih bisa berkata dia mencintai mama, padahal yang dia lakukan bukan bentuk cinta, dia hanya bisa menyakiti. Aku juga marah pada tante Diana yang seolah membela perbuatan ayah. Aku..” Hana tak bisa melanjutkan ucapan.
“Tapi kamu juga marah pada sisi lain dirimu yang membenarkan ucapan mama. Kamu juga marah karena sisi lain itu bisa-bisanya membujukmu untuk menerima dan memaafkan semuanya. Karena itu kamu merasa kehilangan diri yang dulunya nrimo, sekarang di hadapan mama jadi meledak-ledak.”
Hana menghela napas panjang, mengangguk mengiyakan. Ervan memang selalu bisa menerjemahkan keadaan hatinya dengan akurat.
“Memang begitu sifat manusia jika dihadapkan pada kesedihan atau kabar buruk, Na,” Ervan berujar tenang, menggigit potongan es loli miliknya mengikuti Hana. “...bahkan ada psikiater yang punya teori tentang itu. The Five Stages of Grief. Denial, marah, menawar, depresi, lalu perlahan menerima. Aku paham perasaanmu. Tapi,” Ervan memutus omongannya sejenak, meminta Hana agar memerhatikan kata-kata selanjutnya. “Dalam kasusmu, sepertinya bukan itu penyebabnya.”
“Apa memangnya?”
“Selama ini kamu memendam segala ‘tangisanmu’, Na. Aku nggak pernah lihat kamu menangis meski sedang sedih, senang, takut. Kamu selalu menahan-nahannya, dan sekarang semua itu jadi bom waktu dalam bentuk kemarahan.”
Tatapan Hana jadi menyorot jauh.
Menangislah, Nduk, kalau kamu bersedih, jangan ditahan-tahan. Kamu nggak perlu memakai topeng di depan ibu.