Unmeasured Bread

zeytanzil
Chapter #50

Satu Tulisan Terakhir

30 Juli 2017

Halo lagi, Ma. Ini catatan keempat Hana di London.

Jika di lembar pertama Hana menulis tentang wisuda sarjana yang ditunda dan tujuan Hana kemari, tulisan kedua tentang kunjungan ke penjara ayah yang tak membuahkan hasil meski sudah dua kali Hana kesana, catatan ketiga tentang hubungan aneh Hana dan tante Diana, lalu kemarahan Hana padanya.  

Kali ini, Hana mau bercerita tentang kejutan lain yang Hana dapatkan di London.

Dua hari lalu, om Wijaya dan kak Ervan datang kemari. Mereka tak mengabarkan apa-apa, tiba-tiba datang mengetuk pintu, Hana terkejut mengucek mata tak percaya. Rupanya mereka sudah mengabarkan tante Diana, hanya saja Hana tak diberi tahu.

Kami diajak Om Wijaya menaiki mobil van berkeliling London dan menikmati musim panas di berbagai tempat yang kami singgahi dalam perjalanan. Terakhir, kami berhenti di area camping dan berkemah semalam.

Kata kemah membuat Hana jadi teringat perkemahan Sabtu-Minggu dulu saat masih SD. Seru sekali tinggal sementara di tengah lapangan, menghafal sandi-sandi morse, berpetualang mencari remahan teka-teki yang disebar kakak senior. Mama juga sering datang menjenguk ke lokasi kemah, menyetir mobil sendiri membawakan bekal untukku sambil menggendong Chandra. Apa Mama masih ingat?

Wah, ternyata api unggun yang dibuat kak Ervan juga menyalakan kenangan-kenangan Hana hehehe.

Mama sudah banyak mendengar tentang kak Ervan, kan, ya? Hana banyak bercerita tentangnya di makam mama. Dia dan Om Wijaya banyak membantu Hana saat SMA, ketika uang tabungan peninggalan mama hanya cukup untuk membiayai pengobatan Chandra sementara Hana harus sekolah. Hana berhutang budi juga materi pada mereka.

Dua hari terakhir pula, kesan itu masih sama, Ma.

Om Wijaya dan kak Ervan masih menjadi salah dua orang-orang baik yang Hana temui selama 24 tahun belakangan. Hana yakin mereka sudah tahu tentang apa yang menimpa Hana belakangan ini, tapi di hadapan Hana mereka tak mengungkitnya jika Hana tak lebih dulu membicarakannya. Mereka hanya melakukan apa yang mereka bisa: menempuh jarak jauh ke London, mengajak Hana jalan-jalan dan menghibur dengan cara mereka sendiri.

Di mobil dalam perjalanan pulang, ketika semuanya tertidur pulas, dan hanya Hana serta Om Wijaya yang terjaga, beliau meminta maaf pada Hana, Ma. Dia juga ternyata menyalahkan diri sendiri karena merasa tidak bisa menahan tante Diana di sisinya yang berakibat pada terpisahnya keluarga Hana. Om Wijaya bilang dia sudah menganggap Hana bagian dari keluarga, maka dari itu dia bersedih mengetahui orang terdekatnya melukai Hana.

Hana bilang Om Wijaya tak perlu mengkhawatirkan itu. Hana malah tak terpikirkan untuk menyalahkannya.

Tapi setelah itu, Hana banyak merenung.

Ternyata banyak orang seperti itu, ya, Ma. Padahal kejadian tertentu tak ada andil mereka di dalamnya, tapi mereka tetap menyalahkan diri sendiri. Persis seperti Hana yang beberapa minggu belakangan juga seringkali merasa begitu, beranggapan bahwa kematian mama juga salah satunya karena Hana. Karena Hana lalai, tidur nyaman di lantai atas dan tak bisa mencegah tragedi di rumah kita. Padahal bisa jadi mama yang mengalaminya sendiri, menganggapnya sebagai takdir yang semestinya dihadapi.

Maka dari itu, Ma, hari ini, Hana memutuskan melepaskan semuanya.

Hana akan membiarkan masa lalu itu tertinggal di London. Hana akan menebas tali penyesalan, kemarahan, dan penghakiman yang selama ini membelenggu kaki. Hana bukan menyerah, tapi Hana akan mencoba menerima bahwa tak semua hal dalam hidup bisa Hana kendalikan.

Sama seperti Om Wijaya dan kak Ervan yang riang bertemu dengan istri serta ibu yang harusnya mereka benci, Hana juga akan berlatih memaafkan ayah dan tante Diana atas semua yang terjadi diluar kuasa Hana.

Disamping itu, yang paling penting, Hana harus meminta maaf pada diri Hana sendiri karena selama ini sudah menyakiti diri sendiri karena menahan ‘tangisan’ tanpa berusaha menyalurkannya dengan benar; karena menyalahkan diri atas peristiwa diluar kuasa Hana; karena diam-diam mengasihani diri sendiri, padahal nilai diri Hana tidak semengenaskan itu, padahal orang-orang baik yang selama ini mengelilingi Hana bukan bermaksud seperti itu. Mereka membantu karena menyayangi Hana, bukan karena melihat Hana sebagai tunawisma berbaju compang-camping dengan tatapan merendahkan.

Rini, Bu Heni, kak Ervan, om Wijaya, mas Edo, Egi, Bela, Arya.

Hana lupa bahwa Hana selalu melihat binar ketulusan dari mata mereka.

Lihat selengkapnya