Desember 2018.
Hana menggeret kopernya, melangkah santai menyusuri bangunan bandara Soekarno-Hatta. Dia sengaja berangkat empat jam lebih awal dari waktu check-in pesawat untuk mengantisipasi macet. Daripada itu, dia juga ingin berkeliling terminal tiga yang desainnya sangat modern ini. Dia tak akan kembali lagi ke ibukota dan melihat kemegahan yang serupa lagi.
Ruang tunggu pesawat kelir biru yang akan ditumpanginya masih jauh sekali. Salah satu bakery menarik perhatiannya. Ada aroma-aroma familiar yang sudah tak dihidunya selama setahun belakangan. Hana memutuskan mampir untuk membeli beberapa kerat roti.
Disamping kasir, berdiri sebuah stand poster, menampilkan sosok CEO dari brand bakery ini. Memakai setelan jas berwarna abu gelap, rambutnya disisir rapi tampak jidat, menampilkan struktur wajah yang tegas sekaligus ramah karena senyum lebarnya. Dua tangannya disusupkan dibalik saku celana.
“Ah, ini CEO kami, mbak,” perempuan yang bertugas dibalik counter kasir tiba-tiba berkata. Mungkin melihat Hana memerhatikan poster itu, dia mengajak sang pengunjung berkomunikasi dengan ramah. “Dua bulan lalu beliau mendapat penghargaan sebagai pengusaha muda bidang F&B nomor satu Indonesia. Outlet-outlet kami bertumbuh dengan pesat setahun belakangan, sukses besar.”
Hana mengangguk-angguk menanggapi, membuka bungkus chickenfloss bread yang sudah didata kasir dan menggigitnya sedikit. “Pantas dapat penghargaan. Ini enak sekali,” pujinya sungguh-sungguh.
Demi mendengarnya, wajah sang kasir seketika lebih cerah dari sebelumnya. Dia mengangsurkan bungkusan berisi roti yang dibeli Hana dengan senyum riang. “Semoga perjalanan anda menyenangkan.”
Ternyata stand poster yang sama diletakkan di dekat pintu masuk, dia tidak menyadarinya tadi. Hana memerhatikannya sekali lagi, masih sambil mengunyah roti yang rasanya telah meningkat berkali-kali lipat sejak dia bekerja di cabang pertama Putera Bakery.
Kalau kamu, Ar, impianmu apa? Nggak ada makanan favorit, tapi punya cita-cita yang kamu ingin wujudkan, bukan?
Tentu.
Oh ya? Apa?
Pangestu Grup sudah punya nama di pasar internasional berkat beberapa produk ekspor, seperti frozen food atau camilan kemasan khas Indonesia. Tapi, di dalam negeri, nggak begitu banyak yang tahu tentang kami, Na. Rencanaku, aku ingin menggunakan Putera Bakery untuk tujuan itu dengan memperbanyak jumlah outletnya di seluruh nusantara. Kamu dan banyak pelanggan lain sudah membuktikan rasa-rasa produknya yang fantastis—termasuk Triple Choco-Nut yang kita buat sekarang ini—. Sudah saatnya Putera Bakery memperlebar sayap, berbagi kebahagiaan lewat sekerat roti pada lebih banyak orang.
Hana tersenyum menatap potret pria yang telah jauh lebih dewasa itu. Dia meremas bungkus plastik roti dan membuangnya ke tempat sampah di luar outlet, sebelum berlalu dengan ceria.
Dia tahu Arya serius sekali jika soal bisnis, namun pengusaha muda terbaik nasional dalam waktu setahun?
Arya memang gila.
***
“Ini udah di ruang tunggu, Rin,” Hana mengerling arloji di tangannya. “45 menit lagi boarding.”
Puas berpetualang di bandara dan membeli satu-dua barang lagi di beberapa outlet yang kelihatannya menarik, Hana akhirnya mengistirahatkan diri di pemberhentian terakhir sebelum berangkat. Tepat setelah dia duduk, Rini meneleponnya.
“Syukurlah kalau gitu. Aku udah nggak sabar mau nimpukin kamu pakai kue ultah secara live tahun ini. Eh, nggak, ntar kamu batal pulang. Aku nggak sabar ketemu kamuu,” Rini mengucapkan kalimat terakhir dengan nada dimanis-maniskan, tampaknya juga sambil mencondongkan bibirnya.
Hana membayangkan itu dengan geli. Padahal baru sebulan lalu kunjungan terakhir Rini ke Jakarta. Sahabatnya itu datang ke kafe bersama Ervan, mengacungkan cincin di jari manis dengan bahagia. Hana memeluk Rini dengan erat, tos tangan dengan Ervan, menyelamati mereka berdua, dan berkata akan membelikan mereka hadiah sepulangnya dari Jakarta.
Sebenarnya Hana hampir lupa, sampai tadi dia mampir di outlet Putera Bakery dan melihat poster Arya. Dia akhirnya membeli suvenir berupa sepasang boneka keramik di salah satu toko.
“Oh iya, kamu udah baca suratnya, kan, Na?”
Itu juga yang ingin dia tanyakan, makanya dia bersyukur Rini meneleponnya sekarang.
“Udah,” jawab Hana sederhana. “Kok bisa sih, Rin. Sejak kapan dia menyukaiku?”
Hana bisa merasakan sahabatnya itu tersenyum. “Kamu masih ingat nggak, dulu pernah penasaran aku ketemu sama cowok di mal? Nah, itu aku lagi bareng dia. Kami sering ketemuan, dia ingin tahu tentang kamu lebih banyak. Dia bahkan udah tahu masa lalu keluargamu, Chandra dan pernah ketemu Ibu juga. Lalu setelah kabar nikah kamu nyebar, dia nggak sering menghubungiku lagi, katanya mau move on. Setahun terakhir kayaknya nggak jadi pindah hati, tuh, Na. Selain sering kirim surat lewat aku, dia juga masih betah menjomblo. Sepertinya dugaanku benar. Dia nungguin kamu.”
“Betah banget, padahal belum tentu aku bakalan mau,” Hana termenung. Dia mengarahkan pandangan melewati dinding kaca, memerhatikan pesawat-pesawat yang berbaris di kejauhan.
Rini tersenyum lagi sebelum menjawab kegundahan hati sahabatnya.
“Hanya satu jawaban untuk itu. Dia sangat menyukai Hana Humaira.”