Tom menggeliat kecil saat sinar matahari pagi masuk menembus jendela kamar yang dia tiduri, tangannya meraba sisi tempat tidur yang ada di sisinya. Lalu menyadari bagian lain di sisi tempat tidurnya itu kosong. Membuka matanya dengan malas nyaris seperti menyipit, dia menyadari hanya ada dirinya di atas ranjang luas ini. Tak ada Clara.
Menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, perlahan Tom berjingkat bangkit dari tidurnya, dia menyadari hanya mengenakan short pant berwarna hitam, ranjang mereka tampak berantakan parah akibat pergumulan tadi malam sementara beberapa pakaiannya dan pakaian Clara masih berserakan di lantai kamar. Uuh, brantakan, batinnya mendesis tapi bibirnya tersenyum. Tangannya segera terjulur meraih pakaian-pakaian itu dan memasukkannya ke dalam keranjang cucian yang ada di sudut kamar tidur. Hanya sehelai kaos yang tergeletak di atas lantai kamar yang kemudian ada di tangannya dan dia kenakan. Lalu Tom menyeret langkahnya menuju ke luar kamar.
Aroma masakan yang mengular menuntun langkah Tom menuju ke dapur. Dia menemukan Clara di sana, berhenti di sisi ambang pintu dapur- Tom memandangi punggung wanita cantik itu. Clara nampak telah rapi dengan setelan pakaian kerja dan rambut tergulung. Kaki Clara jenjang terekspos dengan jelas hingga paha atasnya. Uhhh pakaian mini lagi...
"Kau sudah bangun, Sayang?" Clara menyapa Tom saat menemukan Tom berdiri memandanginya, bergegas Clara menghampirinya, mengalungkan lengannya di leher Tom dan menghadiahinya sebuah kecupan di bibir Tom yang niat awalnya hanya sebentar namun berlanjut intens dan sedikit panas. Uhh, Clara selalu tahu cara membuat Tom menjadi liar dan brengsek. Sampai akhirnya Clara menarik diri dengan manis dan permainan lidah mereka berhenti. "Tapi kok belum mandi? Masih bau asemm ahhh..." Clara mengibaskan tangannya setelah mengendus leher dan tubuh Tom.
"Aku sudah bilang jangan memakai rok seminim itu lagi," Tom tak memberi jawaban atas pertanyaan Clara, dia malah balik protes dan disambut tawa renyah dari bibir tipis Clara yang tersapu lipstik merah.
"Kenapa?" tanya Clara sambil tersenyum manis.
"Aku nggak mau siapa pun melirik kamu."
"Apa itu artinya kamu mencintaiku? Sebesar apa? Segini?" Clara membuat jarak antara jari telunjuk dan jari jempolnya saat satu lengannya yang lain masih bertumpu di bahu Tom. "Atau segini..." Clara membesarkan rentangan tangannya. Dari dulu dia ingin tahu arti dirinya di hati Tom.
"Apa yang sedang kamu masak?" Tom menjentikkan jarinya ke dahi Clara lalu bergegas menuju ke arah kompor yang tengah menyebarkan aroma sedikit gosong. Tak pernah menjawab pertanyaan Clara soal yang satu itu.
Clara mengerucutkan bibirnya yang menggoda itu lalu mengikuti langkah Tom. Melirik ke pan yang tergeletak di atas kompor, Tom menyadari Clara tengah memasak saos spaghetti yang sejujurnya tak layak di sebut saos lagi karena bahkan telah kering dan sedikit gosong.
"Aku memasak makanan kesukaan kamu. Tapi sepertinya gagal." Clara menyengir kecil khas wanita itu lalu dengan mesra mendekap kembali tubuh Tom yang telah berada di hadapan kompor yang menyala. Tom mematikan kompor itu. Tidak terlalu gosong, masih ada yang sepertinya bisa dicicipi di bagian atas.
Meraih sendok Tom mencoba merasakan rasa masakan Clara. Jauh dari kata sempurna seperti masakan Vanila. Vanila, Tom menggumamkan nama itu ketika Clara mendekap tubuhnya dari belakang dan meletakkan dagunya di pundak Tom lalu berbisik lembut di sisi telinga Tom. "Bagaimana? Buruk, ya?" Nada suara wanita itu terlihat lebih dari kecewa, Tom menoleh. Menemukan wajahnya dan wajah Clara nyaris menempel. Aroma nafas Clara menyapu wajahnya. "Maaf, karena tidak bisa memasaknya dengan sempurna bahkan gosong," bisik Clara penuh penyesalan, "Vanila pasti lebih baik dariku..."
"Ya, jauh lebih baik."
"Jahat!" Clara memekik sambil menarik tubuhnya menjauh. Tom melempar senyum memandang Clara. Wanita selalu aneh, suka meminta jawaban orang lain, tapi tak menyukai jawaban yang diberikan orang lain. Kenapa harus bertanya jika tak ingin mendengar jawabannya? Dulu dia pikir hanya Vanila yang seperti itu dramatis sebab Vanila seorang penulis, bisa cemburu hanya karena pujian singkat untuk hal sepele bahkan membuat mereka acap berakhir dalam pertengkaran, tapi ternyata Clara yang rasional juga bisa cemburu dan bersikap aneh hanya karena soal siapa yang lebih baik dalam memasak makanan kesukaannya.
Tom menghampiri Clara yang masih nampak cemberut. Tertawa lebar lalu mengalungkan ke dua lengannya di pinggang ramping Clara, meletakkan dagunya di pundak wanita itu dan menghadiahi pipi dan leher Clara dengan ciuman beruntun yang membuat wanita itu mau tak mau menggeliat kecil kegelian.
"Tom, apaan sih..." Clara memekik pura-pura protes, namun kemudian memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan pria tampan itu dan membalas ciuman Tom. Dia mengalungkan lengannya di leher Tom kembali. "Maaf, jika pagi ini tidak ada sarapan untukmu."
"It's okay, honey." Tom berusaha keras menahan geli saat melihat wajah Clara yang penuh rasa bersalah. Lalu melumat bibir tipis Clara. "Kau sudah memberiku banyak sarapan pagi ini. Your kissing," bisik Tom membuat mata Clara mendelik lalu tersipu.
Masih ada beberapa menit untuk kemesraan di pagi hari sebelum waktunya mereka melakukan pertemuan dengan klien perusahaan, pikir Clara. "Mau bercinta di pagi hari?" Clara berbisik bagai sebuah tawaran dosa yang menggiurkan.
"Apa masih ada waktu?"