Vanila memasuki sebuah gerai kopi yang cukup terkenal, menatap kederetan beberapa orang yang mengantri di bagian pesanan lalu bernafas lega saat melihat hanya tiga orang yang ada di sana, empat dengan dirinya yang tengah tergesa menuju ke antrian. Otak Vanila telah menghitung berapa waktu yang dia butuhkan untuk mendapatkan segelas kopi, tapi ada apa sih dengan orang di urutan depan sana? Pria itu bahkan belum bergeming dari kertas menu yang ada di tangannya sedari sepuluh menit tadi. Vanila tidak akan menghabiskan waktu untuk memilih pesanan karena sepanjang hidupnya pesanannya selalu sama setiap waktu: vanila latte sesuai dengan namanya.
Vanila meruntuk dalam hatinya, dia mencoba mencari sedikit kesenangan dengan menegak minuman kesukaannya, tapi malah berakhir harus mengantri seperti ini. Vanila berada pada dilema, antara memilih meninggalkan gerai kopi dan segera menjemput putrinya yang pasti sebentar lagi telah pulang sekolah atau tetap berdiri diantrian, pilihan kedua memenangkan hatinya. Dinda pasti tak keberatan jika menunggu sebentar saja lagi untuk memberikan sedikit kebahagiaan bagi mamanya, pikirnya.
Setelah menunggu nyaris empat puluh menit untuk tiga pelanggan yang ternyata memiliki kebiasaan yang sama dengan pelanggan pertama- mengantri dulu baru mencari tahu apa yang ingin dipesan. Vanila bisa menarik nafas lega saat gilirannya tiba. Bergegas dia menuju ke meja barista.
Vanila meraih kopi sambil tersenyum manis sebagai basa-basi kepada sang barista yang telah hafal pada pesanannya. Membuka cup kopi untuk sekedar mencicipi minuman itu setegak dua tegak sambil berbalik dengan kecepatan penuh. Namun siapa yang menyangka hal itu membuat kopinya tertumpah dan membasahi seseorang yang berada tepat di belakangnya.
Bercak berwarna cokelat itu segera tergambar dengan jelas di sebagian kaos orang itu. Sisanya jatuh di lantai dengan sangat mengenaskan, seperti mengenaskannya nasibnya.
"Sorry! Sorry!" jerit Vanila sambil menatap tumpahan kopinya yang kini menggenang di lantai. Habis sudah harapannya untuk melepaskan stress dengan menegak secup minuman kesukaannya. Vanila mendesah berat seberat hidupnya yang membosankan.
Saat menjauhkan sedikit pandangannya dari tumpahan minumannya, tatapan Vanila jatuh pada ujung sepatu yang ada di hadapannya. Mendadak dia merasa sedikit ngeri, korbannya seorang pria. Vanila bersiap dengan wajah sangar dan tak bersahabat yang akan dia terima. Namun ekspektasinya ternyata jauh dari kenyataan.
Di hadapannya berdiri seorang pria yang sangat tampan, tak ada tatapan sangar atau sikap tak bersahabat. Tubuh pria itu dibalut kaos dan blue jeans. Dan kaos itu kini basah, mencetak dengan sempurna otot kotak-kotak di perut pria itu.
Mata pria itu berwarna cokelat dan kini menatap intens pada Vanila, lalu entah bagaimana awalnya kini tangan Vanila mengusap-usap bagian basah dari kaos pria itu seakan tingkahnya bisa mengeringkan kaos itu seketika.
"Sorry. Sorry."
"It's okay," kata pria itu dengan nada bersahabat, "ini bukan kesalahan kamu sepenuhnya kok. Coba saja aku juga tidak terburu-buru..." Pria itu menggantung kalimatnya dan menyentuh punggung tangan Vanila sambil celingak-celinguk ke sana kemari seakan ada yang sedang mengejarnya. Kini giliran Vanila menatap wajah itu dengan intens. Dia merasa akrab dengan wajah pria itu, tapi Vanila tidak tahu dimana dia pernah melihat pria itu? "Aku bakal ganti pesanan kamu. Apa tadi?" Pria itu masih menanti jawaban Vanila saat di menit selanjutnya keduanya dikagetkan oleh teriakan histeris segerombolan wanita yang muncul dari arah pintu gerai kopi yang baru saja terbuka.
"Andy! Andy!!"
Pekikan itu membuat pria itu seketika gelagapan dan di detik selanjutnya pria itu telah berlari pergi melalui pintu dapur yang sebenarnya telah bertulis dengan huruf kapital dan di blok hitam dengan ukuran huruf yang cukup besar bertulis: staf only. Dilarang masuk bagi yang tidak berkepentingan.
Pria itu berlari melintasi para pekerja dapur yang tengah menyiapkan dessert dan cemilan pendamping kopi yang menjadi menu utama di gerai ini. Vanila bisa melihat dengan matanya bagaimana para staf dapur menghindari mereka dan mengarahkan tatapan bingung, kesal dan marah kepadanya.
Uups...padanya???
Brukk.
Pintu belakang gerai kopi itu terbuka dengan keras, tepat saat Vanila melihat bagaimana tangan pria itu memegang erat pergelangan tangannya dan membuatnya berlari bersama makhluk itu. Wait! Bagaimana ini bisa terjadi?!
"Berhenti!" Vanila memekik kesal sambil menghempaskan tangannya dari genggaman pria itu. "Apa alasan kamu membawa saya berlari seperti ini?!"
"Saya mau menyelamatkan kamu."
"Menyelamatkan? Saya tidak perlu diselamatkan, cuma kamu yang perlu menyelamatkan diri kamu sendiri dari fans-fans kamu, Andy Herline."
Andy Herline tertawa menampakkan deretan giginya yang putih berkilau yang menjadi asetnya sebagai bintang iklan pasta gigi. "Jadi sejak kapan kamu tahu siapa saya?"
"Tentu saja sejak para fansmu meneriakkan namamu."
"Yakin nggak bohong? Bukannya sejak pertama kamu melihat wajah saya?" Cowok itu nyengir. "Kamu harusnya bersyukur bertemu artis terkenal seperti saya. Bukan menyombongkan diri, tapi agar kamu tahu: banyak wanita yang mau membayar untuk bisa bertatap muka langsung dengan saya dan aku dengan cuma-cuma bahkan mengizinkan kamu memegang tanganku."
"Nggak salah itu? Bukannya kamu yang memegang tangan saya?" Vanila mendelik tajam menatap lelaki yang kini tertawa ngakak mendengar ucapannya, padahal dia jelas tidak sedang melucu. Vanila beranjak.