Tom kembali memandangi lekuk tubuh Clara saat wanita itu bergerak membagikan berkas kepada anggota rapat. Dan itu terjadi entah untuk yang keberapa kalinya, Sejujurnya dulu Tom tidak pernah memperhatikan lekuk tubuh Clara seperti saat ini sebelum mereka terjebak berdua di Melbourne.
Tubuh itu tampak langsing dengan kulit yang kuning keemasan dan sangat cerah. Senyum Clara cemerlang melebihi langit pagi. Pinggang Clara adalah tempat ternyaman bagi lengannya untuk diletakkan, rasanya seperti guling di atas ranjang yang sulit dilepaskan setelah dipeluk. Seperti pinggang Vanila dahulu, batinnya membatin. Saat ini, di tengah rapat dengan seluruh petinggi perusahaan Tom kembali memandangi wajah cantik itu.
Pak Rendi sedang menjelaskan alokasi dana pembangunan jalan lintas provinsi dan Tom sedang berusaha mendengarkannya sambil sesekali menanyakan hasil survei yang mereka lakukan dan hasil pembebasan lahan oleh permerintah pada Clara. Namun saat memandang wajah itu pagi ini Tom malah mulai memikirkan hal yang selama ini sebenarnya tidak pernah dia biarkan mengusik pikirannya.
Membayangkan betapa manisnya Clara saat menjadi seorang isteri. Betapa sempurnanya sebuah rumah tangga yang akan dia jalani jika bersama Clara. Suara Clara selalu lembut. Dia membayangkan bagaimana Clara menyelesaikan masalah yang dibuat anak-anak ketika pagi hari dengan kelembutan khasnya. Kini dia juga membayangkan Clara membangunkannya di pagi hari dengan sebuah kecupan hangat di pipi atau bibirnya dan bukannya terbangun karena mendengar pertengkaran dengan anak-anak yang sedang enggan ke sekolah. Kini Tom juga membayangkan bagaimana mesranya Clara menyambut kepulangannya usai bekerja dan bukannya disambut teriakan emosi karena Verzet dan Dinda menolak untuk belajar sore dan memilih bermain atau menonton televisi seperti yang Vanila lakukan.
Dan kini Tom berpikir apakah Vanila memang belahan jiwanya ataukah dia terlalu terburu-buru untuk menikah sehingga kini dia melewatkan wanita idamannya dan sekarang terjebak dalam sebuah rumah tangga yang jauh dari gambaran rumah tangga idaman yang dulu dia bayangkan, terkungkung bersama seorang wanita yang suka mendumel dan memarahi anak-anaknya serta suka membesar-besarkan masalah.
"Anda tidak apa-apa, Pak Tom?"
Wajah Tom memerah saat menyadari seluruh mata kini memandangnya dengan ganjil termasuk mata Clara. Tom menyadari pasti tatapannya tadi hanya mentok mengarah pada Clara di tengah rapat ini dan mungkin saja ini membuat seluruh peserta rapat curiga tentang hubungan rahasianya dan Clara atau kini mereka menanti pendapatnya tentang sesuatu. Namun tentang apa?
"Maaf saya hanya sedang memikirkan apa yang yang kalian katakan tadi." Tom berdusta karena dia bahkan tak tahu isi rapat ini sedari tadi. "Tapi ada sesuatu yang sangat mendesak yang harus kita lakukan: mengadakan press release untuk membuka seluruh keadaan yang terjadi dan membuang kecurigaan yang berkembang di masyarakat bahwa kita mendapatkan kontrak kerjasama ini karena kedekatan hubungan dengan birokrasi dan juga bahwa kita sewenang-wenang dalam pemberian dana pelepasan hak atas tanah warga. Kita harus meminta kedua Pemda menjelaskan bahwa pelepasan tanah adalah murni tanggung jawab mereka dan kita hanya menyelesaikan pekerjaan sebatas tanah yang sudah mendapatkan pelepasan haknya oleh pemerintah. Saya tidak suka terus-menerus di usik warga yang berdemo di proyek pengerjaan seakan-akan kita akan mengambil tanah mereka dan memaksa menyelesaikan proyek di tanah yang masih berada di dalam persengketaan."
Kemudian saat Jimi, pimpinan Humas perusahaan mulai menyampaikan keluhannya karena dibombardir terus oleh wartawan, Tom merasa bisa bernafas lega karena tak ada satu pun yang kini menatapnya dengan tatapan penuh kecurigaan. Hingga rapat selesai dan hanya menyisakan dia dan Clara yang nampak sibuk membenahi berkas-berkas rapat dan notulen di ruangan itu. Dia kembali menatap tubuh itu.
"Ada apa, Tom?" Clara menghentikan pekerjaannya, beralih mendekati Tom. Memutar kursi managerial yang Tom duduki lalu mengalungkan lengannya di leher pria itu. Karena posisi Tom tengah duduk, tubuh Clara mencondong ke depan wajah Tom hingga Tom bisa melihat bagian dada Clara dan entah sejak kapan tiga kancing teratas Clara telah terbuka, setahunya tidak di rapat tadi. Clara kini sedang mencoba menggodanya lagi, tapi dia suka.
"Kau terlambat datang hingga aku tidak bisa memelukmu dan sarapan bersama sesuai yang kau janjikan," Clara berujar manja, "Dan kini kau nampak tidak bersemangat setelah pulang ke rumah. Apa yang terjadi? Kau bertengkar dengan Vanila lagi pagi ini karena dia tahu sebenarnya kau hanya pergi semingguan ke luar negeri, tapi dua hari malah menginap di apartemenku?" Wajah Clara pura-pura shock. Sebenarnya jika itu yang terjadi dia merasa jauh lebih baik, Vanila akan meninggalkan Tom dan Tom akan menjadi miliknya seutuhnya. Dia tidak harus cemas karena berpikir Tom harus pulang ke anak dan isterinya. Uuh, itu keadaan yang sangat tak menyenangkan.
"Tepatnya tidak seperti itu..." Tom menarik nafasnya. "Tapi kau tahu Vanila..." Tom menggantung kalimatnya.
"Dia bertengkar dengan anak-anakmu lagi?" Clara menebak permasalahan yang sama yang sering terjadi dalam rumah tangga Tom dan Vanila. Masalah yang paling sering dicurhatkan Tom padanya.
"Dulu dia tidak seperti itu. Tapi kini...," Ucapan Tom terjeda beberapa detik, "Apa aku salah jika mulai berpikir, apakah Vanila memang belahan jiwaku atau aku terlalu terburu-buru untuk menikah sehingga kini melewatkan wanita idamanku dan sekarang terjebak dalam sebuah rumah tangga yang jauh dari gambaran rumah tangga idaman yang dulu kubayangkan, terkungkung bersama seorang wanita yang suka mendumel dan memarahi anak-anak serta suka membesar-besarkan masalah." Tom mengeluarkan seluruh unek-unek yang ada di hatinya pada selingkuhannya itu. Clara menjawabnya dengan senyuman.