Mobil berjenis MPV berwarna putih susu itu meluncur masuk ke dalam sebuah rumah mewah dengan halaman luas nyaris selebar lapangan bola kaki. Bergegas Vanila memarkirkan mobilnya diantara mobil-mobil lainnya yang telah berjejer walau tak rapi. Jelas tim praproduksi telah berkumpul di tempat ini. Vanila melangkah sambil melirik sekilas pada arloji di pergelangan tangannya dan menyadari dia telat tiga puluh menit dari waktu yang mereka perjanjian. Buru-buru Vanila berlari menuju rumah besar itu.
Ketika Vanila tiba di tempat itu suasana sudah cukup ramai, ada sutradara, wakil dari Gama Production selaku rumah produksi, Pak Munchen sebagai produser dan beberapa tim produksi lainnya. "Selamat siang semua. Maaf, jika saya membuat Anda semua menunggu." Vanila menyapa dan segera mendapatkan seluruh perhatian dari semua orang yang ada di tempat itu.
"Nila," Pak Munchen bergegas menghampiri Vanila dengan wajah sumringah. "Akhirnya kamu datang juga." Wajah Pak Munchen terlihat lega bahkan teramat lega.
"Maaf, saya telat, Pak karena harus mengurus rumah dulu."
"Lupakan hal itu. Lupakan. Yang penting kamu sudah ada di sini."
Vanila menerawangkan pengelihatannya ke seluruh penjuru rumah mewah itu. Sepertinya kali ini Pak Munchen begitu yakin film yang akan mereka produksi ini akan meledak di pasaran hingga Pak Munchen memperlakukan skenarionya kali ini dengan teramat berbeda.
Vanila bukan bicara sembarangan. Dia telah bekerjasama dalam produksi beberapa film yang diangkat dari novelnya bersama Pak Munchen. Ya, beberapa tahun yang lalu novel-novelnya dikontrak borongan oleh Gama Production, saat itu dia dan Tom sedang butuh uang untuk perobatan Verzet ditambah munculnya Dinda di dalam rahimnya secara tak diduga akibat kesalahan kontrasepsi, tawaran Pak Munchen adalah anugerah dari Tuhan. Bekerja sama dengan Pak Munchen dalam waktu cukup lama membuat dia mengenal pria itu: Pak Munchen biasanya teramat hemat pada alokasi lokasi dan latar, pria itu percaya naskah bagus dan akting akan menghidupkan segalanya.
Bahkan dalam beberapa kasus kerjasama mereka membuatnya menjadi cukup shock ketika gambaran kehidupan tokoh protagonis atau antagonis di novelnya terpaksa berubah seratus delapan puluh derajat. Dan dia harus mendesah lega sekedar mengurangi sedikit luka di hatinya karena Pak Munchen tak merubah semua latar di novelnya. Belum lagi dia harus menerima peranan yang dibawakan para aktor dan aktris yang kadang menurut perasaannya kurang greget, tapi sudah sangat greget bagi sutradara dan produser. Bagi seorang penulis melihat ceritanya di flimkan jauh di luar gambaran yang dia bayangkan itu menyakitkan.
Namun menatap semua yang ada di hadapannya kini, Vanila merasa begitu bahagia. Akhirnya berbeda dari empat novelnya yang telah difilmkan Gama Production, novel kelimannya akan berjalan sesuai ekspektasinya. Namun benarkah Pak Munchen rela menyewa sebuah rumah mewah di kawasan mewah untuk memenuhi kesempurnaan penggambaran lokasi sesuai karya novelnya yang kali ini memang mengkisahkan tentang kehidupan seorang wanita kaya raya yang kesepian yang jatuh cinta pada seorang gigolo?
Tentu saja rumah wanita itu harus semewah ini. Tidak bisa dia bayangkan jika Pak Munchen merubah latarnya dengan rumah yang kaya biasa aja maksudnya dalam strata kelas menengah-kaya lalu wanita itu menghamburkan uang untuk mengejar seorang gigolo yang dikisahnya disebut populer di kalangan tante-tante kesepian. Dia akan memeluk Pak Munchen untuk berterima kasih pada penghargaan ini jika Pak Munchen benaran memilih rumah ini.
"Ayo, ambil peralatannya! Kerja! Kerja!" Suara asisten sutradara yang terdengar membuat Vanila tersadar dari kekagumannya atas rumah mewah ini yang jelas lebih mewah dari rumahnya.
Asisten sutradara meneriakkan kerja? Berarti produksi akan segera dilakukan? Bukannya dia diminta datang buat berburu lokasi syuting?
"Pak, Bapak sudah sepakat untuk lokasinya di sini?" Vanila bertanya pada Pak Munchen yang kini menatap keseluruhan kru produksi. Menoleh pada Vanila, pria itu mengangguk.
Haruskah Vanila melompat kegirangan dan memeluk pria itu? Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri.
"Beneran?" Pak Munchen menatapnya, bola matanya berputar seakan berkata apa yang aneh? Senyum Vanila mengembang dia mendekap pria itu yang seketika terkaget-kaget karena pelukan Vanila.
"Terima kasih karena memberi Lara rumah ini. Ini lokasi awal yang akan membangun karakter seorang Lara." Dia menjelaskan arti pelukannya ketika sebuah suara terdengar,
"Seharusnya yang kamu peluk itu saya. Ini rumah saya."
Vanila menatap makhluk aneh yang ada dihadapannya itu dengan tangan mengembang terbuka seakan menanti dia melompat ke pelukan pria itu. Melonjak kaget hingga pelukannya pada Pak Munchen terlepas, Vanila menatap makhluk itu. Andy Herline?! Aktor sedikit sinting yang dia temui di gerai kopi beberapa hari yang lalu. Kenapa makhluk itu ada di sini? Ohh, ya... Apa tadi yang dikatakan makhluk itu?
"Dia?"
"Andy Herline setuju menjadi bintang pendukung. Dia akan menjadi gigolo mu." Pak Munchen menjelaskan dengan bahasa aneh yang bisa menimbulkan salah tafsir. Gigolomu, enak saja seakan Vanila adalah tante kesepian yang mencari kehangatan dibalik pelukan seorang lelaki penjaja kehangatan. Euuhhhh najis..
Pak Munchen merangkul tubuh pria itu di hadapan Vanila. "Dan Andy Herline juga setuju meminjamkan rumahnya yang bak istana ini sebagai salah satu lokasi syuting. Kita sangat beruntung bukan?"
"Tapi aku meminta satu syarat..."
"Ohh, iya," Pak Munchen berceloteh seakan baru mengingat suatu hal penting, "Vanila, syuting ini hanya akan berlangsung bila kamu juga turut ada di lokasi syuting."
"Apa?!" Vanila memekik keras, "Tidak! Saya sudah katakan pada Anda, saya tidak ingin terlibat langsung pada syuting dan itu alasan saya menerima pinangan Anda pada novel saya."
"Vanila..."
"Tidak! Tidak akan!" Vanila bersikeras sambil melangkah, tapi Pak Munchen segera menahannya.
"Vanila, aku mohon. Lihat para pekerja itu, tanpa persetujuanmu semua ini akan dihentikan dan mereka tidak akan bekerja." Vanila sebenarnya tidak ingin membiarkan matanya menjelajah memandang para pekerja itu yang entah bagaimana kini menatap serius padanya dengan tatapan memohon. "Anak dan isteri mereka tidak akan makan hari ini. Vanila, tapi aku tidak akan pernah menahanmu jika kau tidak setuju. Namun aku mohon pikirkanlah nasib mereka, anak dan isteri mereka. Makan tidaknya mereka hari ini dan esok ada di tanganmu."
Sial, kenapa Pak Munchen menimpakan tanggungjawab sebesar itu padanya? Sebelum Vanila memberondong Pak Munchen dengan protesan, mulutnya terkunci saat menatap wajah-wajah para kru film yang menatapnya dalam.
Oke, fix. Vanila benci pada orang-orang di sekitaran dunia akting karena mereka mereka mulai bisa berakting padahal mereka bukan aktor atau aktris dan kini akting mereka membuatnya jatuh iba. Perlahan Vanila melangkah ke depan Andy Herline. Berdiri berhadapan dengan aktor ganteng yang terkenal playboy itu.
"Baik, tapi aku tidak bisa full time di sini. Aku akan datang saat aku bisa karena aku punya keluarga yang harus kuurus. Dan mereka akan selalu menjadi prioritasku. Kau setuju atau tidak, hanya ini yang bisa kulakukan untuk memenuhi permintaanmu yang sebenarnya tak masuk akal bagiku."
"Kenapa tidak masuk akal?" Herline bertanya,"aku ingin kau mengawasi aktingku, memastikan apakah aku melakukan aktingku dengan baik sesuai ekspektasimu saat menulis novelmu."
"Kau tidak perlu memperlakukan aku terlalu spesial..."
"Ohh..O, aku tidak menganggapmu spesial. Jangan salah sangka. Kau harus tahu aku selalu berakting dengan baik dan memastikan semua penontonku menyukai aktingku termasuk seluruh penulis naskah film yang kumainkan. Dan bukan mau sombong, naskah buruk pun bisa menjadi menarik dan membooming jika dimainkan olehku. Kau benar-benar beruntung karena aku mau memainkan peran yang ada dalam salah satu novelmu dan setelah film ini rilis kau akan menerima ketenaran yang luar biasa."