Berputar-putar di jalanan tanpa tujuan bukan sesuatu yang menyenangkan apalagi dengan hati yang masih diselimuti kekesalan. Tom tak tahu mengapa dia memutar laju kendaraannya dan memasuki kawasan apartemen Kedoya, mendapat izin dari scurity, lalu memencet lift yang akan membawanya ke lantai dua puluh dua. Setelah diterpa keraguan untuk beberapa waktu, Tom akhirnya memutuskan mengetuk pintu apartemen Clara.
Clara membuka pintu apartemennya. Dia muncul dengan gaun tidur sutra berwarna putih dan senyum sumringah langsung terpancar ketika melihat Tom berdiri di ambang pintunya. Bersandar anggun di daun pintu yang setengah terbuka Clara tampak menggoda malam ini. Tom memandangnya dengan hangat.
Clara menurunkan tali kecil gaun tidurnya yang tergantung di bahunya, membiarkan bahu kanannya yang putih mulus terekspos dengan jelas. Matanya mengerlingkan genit. Ya, dia menunggu saat ini ketika Tom datang padanya.
Sehabis waktu kantor tadi setelah mereka berbaikan kembali pagi tadi, Tom menolak pulang bersamanya ke apartemennya. Tom bilang dia harus pulang karena dia telah berjanji pada anak-anaknya. Walau kecewa, Clara terpaksa melepas pria itu. Dia tidak ingin memulai pertengkaran dengan Tom walau sekecil apa pun itu. Dia ingin Tom selalu tahu bahwa kenyamanan dan cinta hanya bisa ditemukan Tom padanya. Dan bukankah takdir amat baik padanya? Pria itu datang padanya malam ini dengan sukarela.
"Apa aku boleh masuk?" Tom bertanya, Clara tersenyum. Menepikan tubuhnya dan memberi Tom jalan sebelum kemudian di detik selanjutnya Clara melangkah membuntuti Tom yang segera menghempaskan tubuhnya di sofa depan televisi berlayar lebar dengan ukuran cukup besar 40 inchi.
Tom hanya menatap sekilas ketika Clara melangkah meninggalkannya lalu memutar matanya menatap seluruh penjuru ruangan itu dengan lebih teliti. Tak sampai sepuluh menit Clara telah kembali dengan sebotol wine di tangannya dan dua gelas kristal. Matanya mengerling genit dan nakal pada Tom yang tengah bersandar malas di sofa. Lalu Clara menutup tirai jendela kaca, meredupkan sinar lampu dan mulai memutar sebuah piringan hitam dengan musik klasik tempo dulu yang bahkan tak Tom ketahui judulnya. Dan itu bukan masalah karena Tom juga tidak ingin mengetahui tentang lagu itu. Dia memejamkan matanya, menemukan sedikit ketenangan di sini.
Sementara Clara membuka sumbatan botol wine dan menuangkan minuman itu ke dalam dua gelas yang dia bawa. Dia menyesap salah satu gelas itu dengan perlahan sambil meletakkan dirinya di sisi Tom yang masih terpejam. Mereka belum saling menyentuh seharian ini, tapi Clara yakin sebentar lagi Tom dan dia akan tenggelam dalam gelombang gelora itu.
"Wine buatmu." Clara menjulurkan segelas wine di tangan kanannya pada Tom yang malah tetap diam dan tidak berniat membuka matanya. Lalu sebuah pikiran nakal muncul di benak Clara, dengan usil dia menyentuh pipi Tom dengan gelas wine yang dingin karena baru saja diambil dari kulkas. Membuat mata Tom membuka. Clara tertawa kecil.
Tom meraih gelas itu. Menyesapnya dibawah tatapan mata Clara. "Kau terlihat sangat lelah, biar aku memijitmu." Clara meletakkan gelas anggurnya yang sudah kosong ke atas meja lalu beranjak dari posisinya. Sebentar saja tangan lembut Clara telah menari-nari di atas kepala, tengkuk lalu turun menyusup dari krah baju Tom yang terbuka ke dada Tom. Tom menangkap dan menahan tangan itu. Mengeluarkannya dari permukaan kulitnya, memegang erat pergelangan tangan itu di permukaan bajunya. Tepat di bagian dadanya. "Kau terlihat sangat tertekan. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Tom mendesah. "Vanila mulai membesarkan masalah kecil lagi. Aku tahu aku telat menjemput anak-anak tadi siang dan dia mulai histeris menyalahkanku karena Verzet terlambat makan siang dan makan obat, karena Verzet nyaris terkena serangan asma dan karena mereka nyaris diganggu orang jahat. Nyaris. Bukankah itu berarti tidak ada yang buruk yang terjadi? Tapi dia mengamuk seperti telah kehilangan anak-anak kami...seperti aku telah membuat Verzet dan Dinda sekarat dan tidak dapat dia temui lagi. Andai dia sepertimu."
"Kenapa kau ingin dia sepertiku? Bukankah kau memilikiku di sini?" Clara mendekap Tom dari belakang. Tom menengadahkan wajahnya menatap Clara lalu dengan lembut, tapi tegas dia menarik tangan Clara. Menuntun Clara duduk di sisinya.
Mata Clara menatap wajah pria itu dan menyadari untuk kesekian kalinya betapa mempesonanya seorang Tom Dwiguna dan selanjutnya betapa dia menyadari dia akan terjerumus lebih jauh dalam kehidupan pria ini. Namun Clara tak keberatan karena dari awal inilah yang dia ingin: memiliki Tom Dwiguna, bersama pria ini, bahkan kematian pun tak akan dia biarkan bisa memisahkan mereka.
"Aku hanya berpikir mungkin Vanila harus belajar padamu. Bagaimana kau selalu bisa membuatku merasa nyaman."
"Tapi aku tidak akan pernah mau mengajarinya." Clara berucap ketus sambil mengambil inisiatif duduk di pangkuan Tom dan mencondongkan tubuhnya ke depan wajah pria itu untuk dilahap. Dia sadar sepenuhnya risiko apa yang dia akan hadapi.
Tom menatapnya lekat-lekat. "Aku tidak menyangka kau se-egois itu."
Clara tersenyum. Menjentikkan jemarinya pada hidung Tom yang bangir. "Karena aku menginginkanmu. Kau terlalu berharga bagiku dan aku berharap tidak pernah berbagi dirimu dengan siapa pun." Tom menarik bibirnya, tersenyum.
"Tapi dari awal kau tahu aku sudah menikah," Tom berbisik di wajah Clara, mengingatkan wanita itu pada statusnya.
"Siapa suruh kau terlalu mempesona," Clara merajuk, menyalahkannya atas godaan wanita itu, tapi Tom suka. Dia tertawa. Bahagia. Merasa dibutuhkan, diinginkan dan tidak pernah ditolak seperti yang dilakukan Vanila padanya.