Drrrttt...drrrttt....drrrttt.... drrrttt. Suara ponsel Tom terdengar berbunyi. Tom meraih produk canggih era dua puluh dua itu dengan malas. Menekan tombol penghubung lalu suara lembut terdengar dari seberang sana.
"Hai, Sayang." Tom tersentak nyaris bagai tersengat listrik kekuatan tinggi saat mendengar suara yang tak asing di telinganya itu. Suara Clara. Uhh, dia memang lupa melihat siapa penelpon yang menelponnya malam-malam seperti ini. Coba tadi dia melihatnya bakal dia reject sesegera mungkin. "Aku senang akhirnya kamu mengangkat telponmu juga. Aku rindu. Aku ingin kita bertemu."
Tom menarik sudut bibirnya sinis saat mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Clara.
"Kenapa tidak mengangkat telponku? Dan tidak juga ke kantor seharian ini? Jahat. Kamu buat aku rindu setengah mati tahu, sekarang kamu harus tanggung jawab." Suara Clara masih terus terdengar. Nadanya lembut dan dingin-dingin empuk-empuk gimana gitu. Damn! Tom benci tak bisa bertindak tegas pada makhluk satu ini. "Siapa yang pernah mengatakan rindu tidak untuk ditahan?" Clara berujar manja, "tapi untuk dipuaskan?"
Ahh, Tom mendengus. Tidak ingat apakah dia pernah mengatakan hal itu atau tidak.
"Aku tidak akan menemuimu."
"Kau masih marah soal pertemuanku dan Carlos?" Uhh, jadi pria itu benama Carlos? Tom bergumam dalam hatinya. "Aku sudah bilangkan itu hanya pertemuan biasa.' Pertemuan biasa? Ohh... Uhh, batin Tom mendumel, jika itu biasa entah model apa yang disebut luar biasa bagi Clara.
Tom jadi ingat awal pertama Clara menggodanya di apartemen wanita itu- saat itu memang Clara tengah mabuk, tapi jelas bukan mabuk berat. Yah, ekspresi gadis itu keesokan hari setelah menggodanya biasa saja bahkan tanpa rasa segan, cemas atau khawatir saat mereka bertemu dan bahkan makin agresif menggodanya.
Seharusnya dia menyadari hal itu-menyadari bahwa dia bukan pria pertama di hidup wanita ini, menyadari bahwa Clara yang agresif dan dikagumi seluruh karyawan pria di kantornya tentulah sangat berpengalaman dalam menjerat hati para pria. Namun dia dibutakan keinginan untuk menikmati hal baru diluar Vanila, pengalaman dan petualangan baru di luar keluarganya.
"Kami tidak ada hubungan spesial apa pun. Tapi aku senang kau cemburu begitu." Clara terkekeh. "Cemburu artinya cinta kan?"
"Jangan bicara omong kosong. Akan tutup telponku."
"Kau tahu aku tidak pernah menerima penolakan, Tom. Aku ada di depan rumahmu. Surprise..." Clara berteriak ceria.
Kalimat yang diucapkan Clara lebih dari sekedar suprise di benak Tom... itu petaka.
"Apa? Kau bilang... di depan rumahku?" Tom meloncat dari pembaringan lalu mengintip dari balik tirai jendela yang sedikit dikuaknya. Benar saja dia bisa melihat mobil Clara ada di depan gerbang rumahnya diantara deras hujan yang entah sejak kapan turun di luar sana.
Menyandarkan tubuhnya di dinding kamar yang bersisian dengan jendela, Tom kembali mendekatkan ponsel pada wajahnya. "Pulanglah, Clara karena tidak ada lagi yang perlu dibicarakan diantara kita."
"Aku tidak mau," Clara berujar keras kepala. "Aku tidak bisa membiarkanmu salah sangka padaku... Aku mau kita bicara sekarang, Tom. Saat ini juga. Keluar dan temui aku."
"Aku tidak salah sangka!" Suara Tom naik setengah oktaf dengan tertahan.
"Kau salah sangka. Aku mencintaimu dan aku akan menunggumu sampai pagi di sini."
"Kau gila?!" Tom memekik keras lalu melihat Verzet yang terusik, tapi untungnya tidak terbangun dari tidurnya.
"Jadi temui aku."
"Tidak."