Tom tak tahu jam berapa dia tertidur, yang dia tahu dia terbangun saat jam di kamar tidurnya bahkan telah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Tom segera melompat turun dari ranjangnya dan buru-buru menuju ke lantai bawah. Verzet dan Dinda masih tertidur di sisinya. Buru-buru Tom membangunkan kedua buah hatinya. Namun tidak mudah membangun Verzet dan Dinda di pagi hari.
"Sayang, ayo, bangun. Kalian bisa telat ke sekolah jika begini." Tom mengguncang-guncang tubuh Verzet dan Dinda bergantian. Tapi nihil. Dinda dan Verzet tidur tak tertandingi. Tak kehilangan ide, Tom berbisik di sisi telinga kedua putra putrinya, "Kalau nggak bangun, Papa cancel deh makan spaghettinya nanti siang."
"Jangan dong, Pa," Dinda memekik. Mata mungilnya yang indah membuka bak kelopak bunga lalu tangan mungilnya mengalung di leher Tom dengan manja. Tom mendekatkan wajahnya ke wajah putrinya itu dan mengecup pipi gembul putrinya lalu ke dagu dan kening putrinya itu. Dinda tertawa geli saat merasakan bulu-bulu halus yang menyembul tak kasat mata di rahang tegas Tom.
"Dinda mandi, ya. Papa bangunin Kakak dulu." Tom mengakhiri godaannya.
"Verzet udah bagun kok, Pa, tapi bisakan Verzet nggak sekolah hari ini?" Verzet meminta saat Tom menggendong putrinya turun dari ranjang. Tom menoleh mendengar perkataan putranya itu.
"Kenapa nggak mau sekolah?" Tanyanya sambil beranjak meraih handuk dari dalam lemari buat Dinda, putri kecilnya dan memberikannya pada Dinda. Verzet diam, tak mampu menjawab pertanyaan papanya.
"Handuknya besar, Pa," Dinda protes saat Tom memberikannya handuk milik Tom.
"Itu handuk Papa. Nggak apa-apa kan? Dinda mandi dulu. Nanti Papa siapin pakaian sekolah, ya dan sarapan kesukaan Dinda..."
"Spaghetti?" Dinda memotong. Tom menggeleng.
"Nanti siang kita makan spaghetti, masak pagi juga sarapan itu? Nggak bosan-bosan apa?" Dinda menggeleng. "Tapi Papa bosan, jadi makan spaghettinya nanti siang aja, ya?"
"Jadi?" Tom sejujurnya tidak punya ide tentang sarapan apa yang akan dia sajikan pagi ini pada putra-putrinya, tapi dia tidak berniat mengakui itu pada Dinda, putri kecilnya yang keras kepala, walaupun seringkali Dinda memang menurut padanya.
"Ada deh. Tapi Dinda harus mandi dulu, ya?"
"Tapi nggak boleh gosong." Tom tertawa sambil mengusap rambut putrinya itu. Lalu menatap Verzet. "Kalau kamu tidak bisa memberi Papa alasan logis kenapa kamu tidak mau masuk sekolah hari ini, Papa tidak akan mengizinkan kamu absent. Sekarang kamu mandi. Mau di kamar papa atau di kamar kamu terserah, tapi kalau di kamar Papa tunggu dulu Dinda selesai. Jangan berebutan dengan adikmu." Verzet mengangguk, menyibak selimut dan bangkit dari posisi berbaringnya. Tom menatap piyama Verzet yang tersibak menampakkan perutnya dan sesuatu berwarna biru lembam terlihat di sana. "Ada apa dengan perutmu?" Tom baru akan meraih pakaian yang dikenakan Verzet dan menyibaknya ketika putranya itu bangkit dan menutup tubuhnya.
"Tidak ada apa-apa."
"Serius?" Tom meraih lengan putranya itu untuk menatapnya. Verzet menepiskan tangannya.
"Serius. Memang Papa pikir apa yang terjadi? Papa sama Mama sama aja tau. Aku harus sakit baru boleh nggak sekolahkan?" Verzet memutar matanya jengah dan kesal.
"Bukan begitu maksud Papa."
Verzet beranjak dari kamar si papa. "Aku mandi di kamarku saja." Serunya sambil berlalu tanpa menggubris ucapan papanya.
Tom mendesah. Dia menyadari Verzet sekarang sudah lebih besar dan mampu membantahnya dan pasti juga membantah Vanila. Uhh, tentu saja bantahan-bantahan Verzet-Dinda akan melelahkan Vanila. Vanila benar, dia terlalu sibuk akhir-akhir ini hingga dia bahkan tidak tahu- hingga hari ini: bahwa putra dan putrinya telah mampu membantah.
Tom bergegas keluar kamar menuju ke kamar Dinda, menyiapkan seragam yang akan dikenakan putrinya itu. Banyak yang harus dia kerjakan pagi ini termasuk memasak sarapan pagi buatnya dan kedua anaknya walau pasti hanya sebatas roti bakar dan segelas susu. Namun yang lebih penting dari itu adalah memastikan Clara angkat kaki sesegera mungkin dari rumahnya sebelum Verzet dan Dinda melihat wanita itu di rumah mereka. Usai meletakkan pakaian Dinda di permukaan tempat tidurnya dan meminta si gadis ciliknya berpakaian sendiri, Tom bergegas ke lantai bawah.
Baru menjejakkan kakinya di lantai satu, Tom segera disambut aroma masakan yang mengular memenuhi penciumannya seperti ketika Vanila ada di rumah, tapi jelas sekarang Vanila tak ada di rumah. Bergegas Tom melangkah menuju ke dapur. Dia mencurigai satu nama.
"Apa yang kau lakukan disini?!" Tom nyaris memekik saat menemukan Clara di dapur dalam balutan celemek yang biasa Vanila gunakan saat memasak, menutupi sebagian besar permukaan depan pakaian Vanila yang kemarin dia berikan untuk mengganti pakaian Clara yang basah kuyup.
Clara membalikkan tubuhnya menatap Tom. "Kau sudah bangun, Sayang?" Clara menyapa Tom saat menemukan Tom berdiri memandanginya. Bergegas Clara menghampirinya, nyaris mengalungkan lengannya di leher Tom seperti kebiasaannya saat menemukan Tom. Namun gerak itu terhenti saat Tom bicara tegas.
"Jaga sikapmu, Clara." Clara menyengir kecil khas wanita itu dan menurunkan lengannya.
"Beritahu aku jika kau ingin kupeluk," canda Clara sambil menyengir kecil kembali. "Sebagai ucapan terima kasihku, aku memasak nasi goreng buat kalian." Clara menyodorkan sesendok nasi goreng yang tengah dia masak untuk dicicipi Tom sambil menatap ke arah anak tangga yang nampak kosong. "Aku pikir kedatanganku pasti sudah mengganggu tidur Vanila kemarin hingga pagi ini dia jadi telat bangun, tapi bukankah sangat tidak tahu diri membuat suamimu memasak sementara kau tertidur?"
Tom mendengus kesal dan menarik Clara hingga nasi goreng di sendok yang ada di tangan Clara tumpah. Tubuh mereka berdekatan. "Kau tidak punya hak menilai isteriku."