Vanila menatap jauh ke luar taksi melalui kaca taksi yang membawanya keluar dari jalan tol untuk meluber dengan kenderaan lainnya di jalan raya. Bersyukur karena tim pembuatan film khususnya Andy Herline mengizinkannya kembali jauh lebih cepat dari jadwal.
"Apa kau meminta kembali lebih cepat karena aku?" Vanila ingat bagaimana risaunya wajah Andy saat dia meminta izin pada pria itu untuk tidak melanjutkan menemani syuting. "Aku minta maaf jika sikapku kemarin membuatmu tak nyaman. Aku minta maaf jika kau merasa aku melecehkanmu...Aku minta maaf...."
"Itu bukan karenamu. Aku hanya tidak nyaman meninggalkan anak-anakku, mungkin karena aku tidak pernah meninggalkan mereka sebelumnya, apalagi dengan keadaan Verzet." Vanila ingat bagaimana Andy menatap wajahnya lekat-lekat seakan memastikan dia tidak tengah berbohong sebelum mengangguk paham. Vanila sudah pernah menceritakan bagaimana tingginya alergi Verzet. Tentu saja dia bisa memahami bagaimana kecemasan Vanila. "Soal kejadian kemarin aku tahu kita sama-sama menyesal..."
"Tapi aku tidak." Vanila ingat ucapan penuh keyakinan yang dikatakan Andy di meja sarapan pagi. "Aku tidak pernah menyesal tentang apa pun yang terjadi antara kita kemarin malam. Karena aku benar-benar mencintaimu." Vanila ingat kata-kata itu bagai sebuah hentakan yang mengejutkan dan membuat ludahnya terhenti di tenggorokan, mencekiknya. Bagaimana dia merasakan perasaan tak nyaman atas pengakuan Andy. Bahkan butuh kekuatan ekstra baginya untuk menyingkirkan salivanya dari saluran pernafasannya dan menemukan kembali udara segar, lalu buru-buru memberi alasan untuk mengakhiri pembicaraan itu.
"Aku harus pergi. Banyak yang harus dikerjakan. Aku belum membenahi barang-barangku bahkan belum memesan tiket pesawat. Aku bahkan tidak yakin akan ada tiket pesawat yang tersisa hari ini."
"Kalau begitu biar aku yang pesankan. Aku punya biro perjalanan langganan yang pasti akan membantu mendapatkan tiket. Sementara itu duduklah di sini dan sarapan pagilah denganku. Hanya sarapan pagi. Mau, ya?" Andy meminta seakan dia sangat penting. Bahkan Andy memintanya memilih sarapan apa yang dia inginkan diluar menu breakfast hotel yang ada.
Tom dulu pernah melakukan hal itu padanya. Dahulu sekali saat Tom pertama kali berada pada posisi midle manager lalu lama-lama Tom makin sibuk dan sibuk bahkan untuk sekedar memastikan perutnya sendiri terisi pun sulit lalu mereka kehilangan moment berduaan di luar rumah. Dia tidak merasa begitu kehilangan momen itu mungkin karena dia sendiri sibuk mengurus Verzet.
Selanjutnya Andy bahkan kemudian minta izin untuk mengantarkan dia ke bandara. Di akhir perjumpaan mereka, sebelum dia menuju ruang tunggu terakhir bagi penumpang pesawat, Andy bertanya penuh harap padanya sambil menyodorkan oleh-oleh buat Verzet dan Dinda. Dua kotak kue dari brand yang ternama, "aku masih boleh bertemu denganmu dan anak-anak kan?"
Ahhh, kenapa bagi seorang asing yang baru dia kenal, dia dan anak-anaknya bisa sangat penting, namun bagi Tom tidak. Pernahkah ketika Tom berselingkuh Tom berpikir itu akan menyakitinya dan anak-anak mereka? Bayangan Vanila kembali pada kejadian kemarin malam ketika dia menelpon Bu Sulis, mantan sekretaris Tom yang awalnya dia pikir masih sekertaris Tom.
Bu Sulis memberitahukan padanya bahwa wanita itu telah lama keluar dari Clement Construction untuk mengikuti kepindahan suaminya. Wanita itu minta maaf karena tidak memberitahu Vanila sebelumnya. Ahhh, Vanila bahkan tidak terlalu memperhatikan kalimat Bu Sulis selanjutnya. Kepalanya dipenuhi beraneka prasangka pada Tom sejak mengetahui kepindahan Bu Sulis.
Vanila ingat dengan jelas panggilan di layar telpon Tom: my secertary. Tom tidak menyembunyikan identitas wanita itu. Wanita itu memang sekertaris Tom. Berarti sejak kepindahan Bu Sulis, Tom memiliki sekretaris baru. Sekertaris baru yang tidak akan pernah Tom ceritakan sedikit pun padanya andai dia tak memergoki chat itu.
Sekertaris baru yang selalu ada di sisi Tom, mungkin juga menemani Tom di saat keluar kota bahkan keluar negeri. Ahhh, bodoh! Dia memang tidak peka: tentu saja alasan itulah yang membuat Tom lupa mengabarinya dan anak-anak mereka. Memikirkan itu membuat tubuh Vanila jadi kaku seperti kawat baja. Entah sudah seberapa jauh hubungan Tom dan wanita itu. Sebanyak apa kisah yang luput darinya? Vanila tak tahu. Dia tidak bisa tidur semalaman memikirkan hal itu dan kini Vanila menangis karena hal itu juga. Untungnya dia mengenakan kaca mata hitam kini sehingga supir taksi tidak perlu tahu kegundahan hatinya.
Membuka kaca jendela mobil, Vanila memandang jauh keluar taksi. Membiarkan angin menghempas-hempaskan anak rambutnya dan perlahan Vanila menyeka air mata di pipinya dengan diam-diam, bahkan tanpa melepas kaca mata hitam yang dia gunakan.
Beberapa saat Vanila masih memandangi jalanan yang dia lewati sebelum Vanila melirik layar ponsel yang ada di genggamannya. Dari layar depan dia bisa melihat beberapa massage yang Tom kirimkan padanya, tapi dia bahkan enggan membuka massage itu untuk sekedar membacanya apalagi membalasnya.
Verzet, batin Vanila menggumam. Meraih ponselnya Vanila mengirim pesan WhatsApp kepada putranya itu, sekedar memastikan kalau Verzet tidak melupakan makan siang dan obatnya. Namun menunggu hingga setengah jam pun, Verzet tidak membalas pesannya.
Vanila kembali melirik layar ponselnya dan menyadari sudah waktunya untuk menjemput putra dan putrinya. "Ke sekolah St. Boromeus, Pak." Vanila merubah tujuannya dan supir taksi konvensional bandara mengangguk. Taksi melaju menuju tujuan yang dimaksudkan Vanila.