"Verzet, maafkan Mama." Vanila menyentuh pundak putranya yang nampak membisu sambil menyantap makanan siang yang mereka beli dengan metode pesan antar di meja makan rumah. Sedari pulang sekolah tadi, Verzet tidak mengatakan apapun, sejak Vanila mengeluarkan kecamannya.
Betapa Vanila menyesali ucapannya. Bagaimana bisa dia membentak Verzet, padahal putranya itu hanya mengatakan hal yang sejujurnya. Dia baru pergi sehari, jauh lebih singkat dari waktu yang Tom lakukan jika berpergian dan saat itu dia berharap anak-anaknya tidak terlalu merindukan Tom. Dia mengajari anak-anak bahwa waktu perpisahan itu singkat agar anak-anaknya tidak merengek karena rindu dan kini dia marah dan ingin dirindukan. Verzet masih diam.
"Mama tahu Mama egois. Mama seharusnya tidak bersikap begitu padamu. Kamu mau memaafkan Mamakan?"
Verzet mengangguk, menghentikan makannya dan menatap wajah sang mama. Vanila tersenyum. "Terima kasih, Sayang." Dikucek Vanila ubun-ubun kepala putranya itu dengan lembut. Lalu beranjak menuju laci dapur. Di salah satu laci kitchen set terdapat kotak P3K, Vanila memang selalu memastikan kotak itu tersedia di dapur, ruang tengah dan di kamar tidurnya untuk memastikan jika terjadi kecelakaan kecil di rumah, kotak itu tidak terlalu jauh untuk diambil. Vanila meraih kotak itu, kembali ke meja makan dan meraih alkohol dari dalam kotak, menuangkannya ke kain kasa, lalu menempelkan kain itu pada pipi Verzet yang lembam. Verzet yang tengah makan sedikit terkaget. Vanila tersenyum menatap putranya itu. Dan terakhir dia mengoleskan betadine ke lembam Verzet lalu Dinda yang tengah asyik memakan spaghetti bolognese berceletuk.
"Adek tadi juga jatuh, Ma. Nih." Dinda yang selalu ingin menjadi objek perhatian memamerkan luka di dengkulnya yang sebenarnya tak meninggalkan bekas apa pun. Vanila mencoba memperhatikan lutut putrinya itu dengan serius. "Sakit banget tadi, Ma," jelasnya saat Vanila memegang lututnya, "tapi Dinda nggak nangis. Dinda kerenkan, Ma?"
Vanila mengangguk lalu memuji putrinya itu. Mengelus puncak kepala Dinda dan memberikan obat yang sama dengan yang diberikannya pada Verzet agar gadis kecilnya itu puas.
"Jadi Mama boleh tau apa yang kalian lakukan ketika berolah raga tadi?" Vanila bertanya pada Verzet memilih diam, sementara dia masih disibukkan mengoles lutut Dinda . "Sebenarnya Mama sudah minta pada Pak Gino untuk tidak memaksa kamu berolah raga terlalu berat, Mungkin Pak Gino lagi lupa saja. Nanti Mama akan hubungi Pak Gino agar dia berhati-hati pada kondisi kamu "
Verzet menghentikan makannya dan mendorong kursi yang dia duduki ke belakang tubuhnya dengan sedikit kasar. "Berhenti memperlakukan aku seperti anak penyakitan, Ma. Aku nggak suka!"
"Verzet, maksud Mama bukan begitu, Sayang....." Verzet tidak memperdulikan ucapan mamanya, dia memilih bangkit dan berlalu meninggalkan meja makan dan menuju ke lantai dua. "Sayang!" Vanila mencoba menahan langkah putranya itu. "Mama tidak pernah bermaksud memperlakukan kamu seperti anak penyakitan..."
"Tapi itu yang Mama lakukan." Vanila menarik nafas mendengar ucapan Verzet. Verzet tidak akan pernah memahami perasaannya saat dokter mengabarkan bahwa bayi yang baru dilahirkannya harus mendapat perhatian ekstra serius di ruang NICU (ICU anak) karena asma akut bawaan yang diidap bayinya. Verzet tidak tahu bagaimana takutnya dia kehilangan bayi itu. Verzet tidak tahu bagaimana dia nyaris gila saat melihat bayi itu kehilangan nafas dan mesin pengukur nafas nyaris menunjukkan garis rata tanpa putus. Vanila menelan ludahnya yang terasa menyangkut keras di tenggorokannya. "Verzet mau belajar, Ma. Banyak tugas yang harus Verzet selesaikan." Verzet beranjak benar-benar menaiki anak tangga menuju ke kamar tidurnya. Kali ini Vanila tak berusaha mencegahnya.
"Mama, nggak apa-apa kan?" Dinda menatap wajah mamanya dengan risau. Vanila mencoba tersenyum lalu menggelengkan kepalanya dan membungkuk menatap putrinya itu.
"Dinda udah selesai makannya?" Dinda mengangguk. "Dinda mau bantuin Mama cuci piring?"
"Mau!" Dinda berteriak antusias. Vanila menggandeng tangan putrinya itu menuju ke meja makan dan merapikan alat makan yang digunakan Verzet dan Dinda lalu membawanya ke dapur.
Sejenak Vanila tertegun menatap dapurnya yang berantakan. Kompor dipenuhi percikan minyak dan beberapa bumbu masakan tampak berceceran di atas kompor dan lantai dapur. Washtafel yang dipenuhi alat memasak dan alat makan yang belum dicuci dan sisa makanan yang berserakan di sekitar tempat pembuangan sampah di sudut dapur.
Melihat berantakannya dapur, Vanila yakin Tom mengalami kesulitan saat menyiapkan makan paginya dan anak-anak mereka. Vanila memasangkan celemek anti air di tubuh Dinda sebelum gadis kecilnya itu membantunya mencuci piring.
Beberapa saat,Vanila hanyut akan pemikirannya: bertanya dalam hati bagaimana mereka akan hidup berdampingan setelah dia mengetahui rahasia yang selama ini Tom sembunyikan darinya. Bahwa hati suaminya itu kini bukan miliknya.
"Ayo, Ma." Dinda memekik. Dia telah berada di sisi Vanila dan sibuk menyabuni sebuah piring keramik.
"Pelan-pelan, Sayang. Jangan sampai pecah nanti tangan kamu luka." Vanila mengingatkan Dinda, sambil mencuci piring lainnya-Vanila mengawasi putrinya dengan serius. Sambil berpikir bagaimana rekasi anak-anaknya jika mengetahui kejadian ini. Dinda...putri kecilnya itu menganggap Tom adalah superheronya. Vanila tidak akan sanggup melihat air mata putra dan putrinya karena hal ini.
Mereka mencuci piring bersama walau sebagian besar sebenarnya Vanila lah yang mengerjakan karena Dinda merasa bosan dan mengeluh tangannya pegal, Vanila tertawa mendengar keluahan putrinya itu. Sementara putrinya itu akhirnya berakhir dengan bermain air.
"Awww!" Vanila memekik protes diantara tawa puas Dinda saat melihat mamanya kebasahan. "Dinda!" Vanila memasang wajah seram dan membuat putrinya terdiam kikuk sebelum tiba-tiba Vanila mencipratkan air kewajah Dinda. Dia ingin putrinya selalu tertawa bahagia.
"Mama!" Dinda memekik dan Vanika tertawa penuh kemenangan. Saat Dinda ingin membalas dengan meraih air minumnya dari dispenser, Vanila memilih kabur. Jadilah mereka berlarian saling berkejaran penuh tawa hingga tanpa sengaja Vanila menubruk tempat sampah di sisi wastafel dan isi tempat sampah itu berhamburan keluar.